13. Tentang Raja Kastara

88 60 42
                                    

"Bukankah semua orang hidup dalam rasa bersalah? Yang membedakan, hanya bagaimana cara mereka untuk terlihat baik-baik saja, 'kan?"

Matahari menelisik masuk melalui celah-celah gorden kamar bernuansa abu-abu itu. Seseorang tengah terbaring di atas tempat tidurnya, luka yang ia dapatkan kemarin tidak cukup parah. Ia sudah diperbolehkan pulang dan beristirahat di rumah sesaat setelah pingsan selama dua jam. Bekas robekan di sudut bibirnya mulai mengering. Obat yang diberikan oleh dokter IGD siang kemarin cukup manjur dan terbilang cepat untuk membantu pemulihan luka-lukanya.

Laki-laki itu membuka matanya. Ia menatap lurus foto besar yang tergantung di tembok kamarnya. Ada foto keluarga di sana. Ia tersenyum tipis. Ada rindu yang begitu besar pada sang papa setahun belakangan ini. Kejadiannya sudah satu tahun lalu, saat Raja masih duduk di semester dua.

2018. Raja mengendarai motornya menuju kampus. Hari itu semua berjalan tampak biasa dan normal. Dikarenakan tidak ada kelas setelah jam pertama, ia melangkah menuju perpustakaan. Tidak, bukan untuk tidur, ia kesana benar-benar untuk membaca buku. Akhir-akhir ini ia punya ketertarikan dalam membaca sastra klasik dunia yang berhasil mencetak sejarah. Matanya menelusuri rak buku di ujung ruangan, tempat semua novel ada.

Terakhir kali, ia membaca sepenggal kisah dari novel yang berjudul Wuthering Heights karya Emily Bronte (1847). Novel tersebut bicara perihal cinta dari sudut pandang yang sangat gelap dan mengerikan. Kisah yang tidak ada hiburannya sama sekali untuk dibaca. Tapi, karena buku tersebut, ia jadi mendapatkan satu pelajaran besar tentang mencintai dan dicintai. Perlakuan baik apapun itu tidak akan bisa disebut sebagai bentuk cinta, jika tidak ada hal-hal menyenangkan di dalamnya.

Raja sendiri tidak pernah pacaran, tapi, ia pernah mencintai seseorang dengan sangat tulus sebelum akhirnya hal menyakitkan datang menghampirinya. Ia pernah jatuh hati dengan seorang gadis populer di SMA-nya dulu, tiga tahun. Gadis itu tahu Raja jatuh hati padanya, tapi, Raja tidak tahu bahwa ia sedang dipermainkan. Dan, ternyata takdir sangat baik pada Raja waktu itu. Tidak lagi ada cinta di sana, sebab sang gadis menjadikannya bahan taruhan. Konyol bukan?

Raja akhirnya membatasi diri untuk dekat dengan siapapun. Ia bahkan tidak pernah menghiraukan tatapan cinta dan kagum yang diberikan oleh para senior ataupun teman-teman satu angkatannya. Ia selalu menatap lurus ke depan saat sedang berjalan.

Raja duduk menghadap jendela untuk menyelesaikan bacaannya. Telinganya disumpal dengan earphone berwarna hitam yang baru ia beli malam sebelumnya. Kedua alisnya sesekali terangkat, terkejut dengan apa yang dibacanya.

Dua jam berlalu.

Waktu menunjukkan pukul setengah tiga sore. Ada rasa kantuk yang menjalar, ia mengingat halamannya sebelum mengembalikan buku tersebut ke tempatnya. Raja tidak pernah ingin meminjam buku dari perpustakaan. Katanya, merepotkan jika sampai rusak atau hilang. Ia tidak ingin mengeluarkan sepeser uang pun untuk hal-hal ceroboh seperti itu.

Ting!

Satu notifikasi muncul di ponselnya, pesan dari Inah, asisten mamanya di toko kue. Kedua alisnya saling bertautan membaca pesan yang dikirimkan wanita tersebut. Tidak banyak berpikir, Raja meninggalkan buku yang ia baca tadi. Berlari keluar, pergi dari kampusnya menuju toko kue sang mama.

Dalam perjalanannya hanya mama dan adik bungsunya yang ada dipikiran lelaki itu. Inah mengatakan bahwa sang papa baru saja tiba, lalu membuat kekacauan di sana. Raja sebenarnya tidak begitu tahu masalah apa yang sedang dialami kedua orang tuanya. Yang laki-laki itu tahu, ia selalu mendengar mamanya menangis setiap dini hari pagi. Raja tidak pernah berani untuk bertanya apapun, walau terkadang, ia rasa, ia harus tahu karena ia punya tanggung jawab sebagai anak.

EibisidiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang