18. The Aplomb x Penumbra

99 53 61
                                    

"Dia yang membangun kepercayaan segampang membalikkan telapak tangan, apa bisa dipercaya?"

Bagi Raja, waktu adalah segala-galanya. Dia takkan pernah mau menyia-nyiakan waktunya dengan hal-hal yang tidak penting. Waktu menunjukkan pukul 10 pagi, dan laki-laki itu belum beranjak dari kasurnya yang empuk. Di atas mejanya, beberapa kertas berserakan, juga laptop yang masih menyala. Sepertinya, ia lembur mengerjakan sesuatu.

Tiriuriitttt.... Tiriuriitttt....

"HAHH!" pekik Raja kaget. Tangannya meraih jam weker berwarna hitam, dan mematikannya. Ia terlambat bangun, dan sudah melewati kelas paginya. Ia menggeliat, merenggangkan otot-otot pada tangan dan tubuhnya.

BUG!

Sebuah bantal tipis melayang tepat di depan wajahnya.

"Arrgghhhh! Siapa sih?!" Raja mengalihkan bantal itu dari wajahnya, bersiap untuk turun dari tempat tidur. Dengan mata yang masih buram juga setengah sadar, ia memicingkan matanya. Sosok itu sudah duduk dipinggir tempat tidur. Dan....

"WAAA!" wajah Raya benar-benar dekat. Mengagetkannya. Adiknya yang muncul entah dari mana itu memasang muka kesalnya. Raja langsung menyentil pelan dahi sang adik saat penglihatannya sudah jelas.

"Apaaa sih Raaa....," keluhnya, mengembalikan bantal Raya. "Bang Ajaaa udah janji mau ajak Raya ke toko buku, 'kan?" bibir mungilnya cemberut, membuat Raja tidak tahan untuk tersenyum. "Iyaa-iyaa, besok minggu ya? Bang Aja kan ada kerjaan sama kuliah dulu, sayang..," Raja turun dari tempat tidur, menggendong Raya untuk turun bersama.

"Janji yaa? Kalo udah janji, berarti harus ditepati!" kelingkingnya maju, tepat di depan wajah Raja, meminta persetujuan. Raja tersenyum juga menunjukkan sederet giginya, menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. "Iyaa janji!" mereka membuat janji kelingking. Keduanya mencium aroma harum yang berasal dari dapur.

"PANCAKE!!" seru dua bersaudara itu secara bersamaan! Raja menurunkan Raya saat sudah sampai di bawah, gadis kecilnya itu berlari menuju sang mama yang sedang membuat sarapan. Paginya benar-benar sempurna. Ia melihat Yuna yang tersenyum riang saat Raya menghampirinya. Dua malaikat ini, gimana bisa gue ninggalin mereka?

"Jaaa..., mikirin apa kamu? Sini sarapan dulu," kata Yuna dengan senyum yang belum juga luntur.

Raja selalu berusaha untuk mensyukuri hal-hal baik yang terjadi dalam hidupnya. Keputusannya untuk menjadi anak berbakti pada Yuna selalu ia lakukan. Raja tidak pernah membantah, tapi, ia selalu memberi pilihan lain jika pendapat Yuna dirasa tidak cocok dengan dirinya. Begitu juga perihal kuliah psikologinya. Usianya masih cukup untuk mengikuti tes SBMPTN tahun ini.

"Maa...," suaranya yang serak dan berat memanggil Yuna dengan lembut, yang dipanggil berhenti memotong butter. Menatap anak sulungnya dengan tatapan yang selalu membuat Raja merasa aman. Laki-laki itu duduk di samping Raya, membantunya menuangkan madu.

"Raja bakal ikut tes SBMPTN tahun ini...," kalimatnya menggantung, tersenyum ke arah Yuna. "Tapi.., Raja cuma ambil pilihan 2 kampus. Satu di Jakarta, satu di Surabaya. Dan, apapun hasilnya nanti, Raja ataupun mama harus sama-sama terima. Karena Raja pikir, Raja udah berusaha semaksimal mungkin..." Raja menerima piring yang diberikan Yuna. Ia dapat melihat sang mama menahan tangisnya agar tidak tumpah. Matanya berkaca-kaca sejak Raja berkata ia akan mengikuti tes PTN lagi tahun ini.

Keputusan yang baik Ja..., ucapnya dalam hati.

"Rajaa..., mama-"

"Mama gak usah mikirin biaya atau yang lainnya. Kalo nanti Raja lulus, Raja bisa cari beasiswa dan kerja part time. Raja janji gak akan bikin mama repot karena biaya. Biarin Raja nyelesain kerjaan Raja di sini dulu sampe pengumuman tes selesai. Mama tau 'kan, anak mama ini pintar? Hehe.." laki-laki itu kembali menunjukkan senyumnya, sedikit terkekeh pelan.

EibisidiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang