6. Rahasia

134 63 61
                                    

"Hei, can u let me die?"

"Hhhh.... Hhhh....," napasnya terengah-engah ketika sampai pada anak tangga terakhir rooftop kampusnya. Didorongnya pintu berwarna orange itu dengan sekuat tenaga. Tangannya gemetar takut. Wajahnya yang pucat terlihat hampir sama dengan awan yang menutupi langit sore itu. Matanya terlihat sangat merah, menahan tangis dan amarahnya sendiri. Langkahnya yang limbung masih tetap berjalan mencari tempat paling tenang disana.

Ketemu!

Ia membaringkan tubuh ringkihnya di bawah awan yang mulai terlihat menghitam. Gadis itu memejamkan matanya, kemudian mengatur napasnya agar kembali normal. Tangannya yang lemah berusaha mengambil air mineral yang berada di dalam tasnya. Ia tidak meminumnya. Ia mengguyurkan air itu ke wajahnya sendiri. Tidak peduli jika bajunya akan ikut basah juga. Ada rasa nyaman yang ia temukan ketika air itu mengguyur wajahnya. Tenang sekali.

Apa begini rasanya mati tenggelam di lautan? Matanya melihat jelas bulir-bulir hujan yang mulai turun. Ia kembali duduk. Memasukkan semua barang-barang pentingnya ke dalam tas, lalu dilemparkannya tas tersebut ke tempat yang beratap. Dia lebih mementingkan itu semua dibandingkan tubuhnya sendiri.

Di saku gadis itu ada kepingan cermin yang selalu ia bawa kemanapun. Kalila tidak pernah melupakannya. Ia mengambilnya. Dilihatnya kepingan itu, ujungnya cukup tajam karena selalu diasah. Ia menyayat tangan kirinya, hanya satu garis. Membuat darah segarnya mengalir begitu saja. Kalila duduk di pinggir rooftop kampusnya. Membiarkan darah di tangan kirinya ikut larut bersama air hujan. Isi kepalanya berhasil memutar kembali memori beberapa jam lalu yang membuatnya muak. Ah, tidak, bahkan sangat muak.

4 jam yang lalu. Sejak selesainya kelas, rapat itu sudah berjalan sekitar satu jam. Pameran yang diadakan oleh prodi Kalila merupakan pameran khusus untuk perempuan. Kalila terlihat sangat tidak fokus di sudut ruangan. Jari rampingnya sibuk membaca chat grup yang lain. Embusan napasnya yang berat beberapa kali mencuri perhatian para seniornya, tidak terkecuali Inka.

BRAK!

Salah satu teman Jolie tiba-tiba saja menggebrak meja dengan cukup kencang. Membuat riuh suara di dalam ruangan itu berubah menjadi hening di detik berikutnya. Kalila masih tidak sadar jika sekitarnya sudah berubah menjadi hening. Tubuhnya hanya merespon apa yang ada di dalam kepalanya. Riuh di kepalanya cukup kencang, membuat ia benar-benar menutup telinga untuk realitanya.

Inka, gadis yang menggebrak meja tadi, melambungkan spidol ke Kalila. Membuat gadis itu akhirnya sadar. Matanya melihat ke seluruh ruangan yang sedang menatapnya. Sial. Ia memasukkan ponselnya ke dalam saku, lalu berjalan ke depan dengan ragu.

"Kenapa?" nada bicaranya yang datar, membuat semua orang berpikir akan ada perang dingin yang terjadi.

"Lo sadar gak lo salah?" Inka membalasnya dengan sinis. Gadis di hadapannya itu melihat lawan bicaranya dengan malas, "Salah gue dimana?" sebelah alisnya terangkat. Kini, ia duduk di salah satu kursi.

"Kita lagi rapat, terus lo malah main hape di belakang. Orang tua lo gak ngajarin lo sopan santun?" Kalila tertawa halus, tawa yang bahkan ia sendiri mual mendengarnya. Orang tua? Hahahahaha..... ia tertawa kencang dalam batin dan kepalanya.

Kalila beranjak dari tempat duduknya, ia berjalan menuju Inka yang berada di tengah-tengah. Membuat keduanya kini menjadi pusat perhatian. "Nggak usah ngomongin soal sopan santun ke gue kak," Kalila menatap Inka dengan dalam. Membuat yang ditatap, menelan ludahnya sendiri.

"Tapi, lo emang gak sopan dan gak bertanggung jawab. Lo gak lihat, angkatan lo sama susah diaturnya macam lo? Bukannya diskusi soal pameran, malah asik ngerumpi," sekali lagi, Inka mengucapkannya dengan sinis dan tidak bersahabat. Ia kira hal itu mampu membuat Kalila gemetar. Tidak, tidak sama sekali.

EibisidiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang