4. Bukankah Tidak Menarik?

171 69 89
                                    

"What do you want to fix?"

Hai! It's me, Kalila! Hanya sekali ini, gue akan duduk bareng sama kalian dan menceritakan langsung sepenggal memori untuk eibisidi.

Selamat datang difilm pendek gue yang sebentar lagi akan kalian saksikan. Sebenarnya ini bukan film, terlalu hebat jika disebut seperti itu. Tapi kepingan-kepingan ini memang terasa seperti film untuk gue. Apapun. Kalian boleh menganggap bab ini sebagai apapun. Terserah. Jangan lupakan popcorn dan sodanya ya!

# # #

Tidak ada yang spesial di hidup gue, yang gue punya sekarang cuma kehancuran. Hidup bukan segalanya, manusia-manusia bumi juga tidak selamanya bersikap baik, begitupun dengan gue dan kita semua. Batas antara realita dan harapan seperti benang, benar-benar sangat tipis. Membuat orang-orang semakin liar untuk menaruh ekspektasi yang tinggi pada orang lain. Gue punya prinsip berjalan di atas es, kalau kamu tidak berani ambil resiko, jangan di coba. Artinya, kalau kamu takut akan kecewa, tidak usah repot-repot menaruh harapan. Kecewa itu menyakitkan, tidak ada yang bisa didapatkan dari kecewa, terlebih jika semesta sendiri yang membuat kamu merasa kecewa bahkan sampai membuat kamu babak belur.

Realita dan harapan, mana yang lebih baik? Tidak ada. Satunya akan membuat kamu muak, yang satunya lagi hanya bisa membuat kamu berangan-angan, nggak tahu sampai kapan. Dan kenyataannya, dua hal tersebut selalu berdampingan di hidup kita, hampir setiap harinya. Buat gue, keduanya jahanam, iya, neraka. Keduanya sama-sama menyakitkan, bahkan semua angan-angan yang ada dalam kepala gue pun adalah hal yang menyakitkan dan menghancurkan diri gue sendiri.

2004. Sebuah rumah minimalis berwarna biru langit berdiri kokoh diantara rumah-rumah lainnya. Gerbang rumahnya yang menjulang tinggi cukup untuk membuat para tetangganya hampir tidak pernah mengetahui apa yang terjadi di dalam rumah itu. Suara bentakan seorang wanita terdengar nyaring sekali. Jika tidak berteriak, maka ia akan memukul, menampar, atau melakukan hal lain untuk menyakiti putrinya. "DILIHAT HURUFNYA DENGAN BENAR KALILA! BUNDA KAN SUDAH KASIH TAU INI B BUKAN D!"

Seorang wanita dengan kulit kuning langsat membentak gadis kecil dengan suara keras. Sangat keras. Membuat gadis itu menangis ketakutan. "Ma-maa-maaf bunda, Ila lupa.."

"Ini bukan yang pertama kalinya kamu belajar baca! Masa kamu lupa? Hah?! Pakai otaknya untuk mengingat Kalila!" Wanita yang dipanggil Bunda itu melotot, menggebrak meja yang ada dihadapan Kalila dan membuatnya semakin menangis. Pintu terbuka, mbok Mar meletakkan segelas kopi panas di meja tempat Kalila belajar. Terlihat ada pria paruh baya yang berjalan di belakang mbok Mar, dia Anto, –sang ayah.

"Bunda, sudah ya, biar Ayah yang ajarin Ila," katanya, bicara dengan pelan.

Terdengar helaan napas dan kalimat kasar dari sang Bunda sebelum melangkah pergi ke dapur, "Ajarin anaknya! Umur 4 tahun harusnya sudah bisa lancar baca."

Pria dengan badan tegap itu tak menghiraukan kalimat yang keluar dari sang istri, dia duduk dengan tenang di samping Kalila yang masih terisak. Tangannya yang kokoh, membelai lembut rambut panjang Kalila dan membawanya ke dalam pelukan.

Hangat. Aman. Hanya itu yang bisa Kalila rasakan.

"Kalila nggak harus bisa mengenal huruf dengan baik kok, Kalila cukup pahami saja perbedaanya." Dilihatnya wajah sang anak, dihapusnya air mata yang tak bisa berhenti kala itu. "Kalila nggak boleh nangis. Nanti Ayah ikutan sedih," ucapnya lembut.

Isakan Kalila mulai mereda kala Ayahnya menggambar kupu-kupu yang sedang hinggap pada setangkai bunga. Gadis itu mengamati dengan sisa-sisa airmata yang masih membekas di lingkaran matanya.

"Kalila tahu nggak kenapa Ayah bikin gambar kupu-kupu?" gadis itu menggeleng pelan, "Huruf B besar itu seperti kupu-kupu yang hinggap di bunga, La. Lihat, mirip kan?"

EibisidiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang