2. Rasa dan Logika

296 101 55
                                    

"Memangnya, mereka tahu apa soal luka ini?"

Suara tangan dan samsak yang sedang beradu itu kini memenuhi sebuah ruang istirahat di rumah seseorang yang terlihat elite.

"Gue turun tangan deh!"

Seorang gadis dengan tubuh atletis, dengan picikan matanya yang mulai membara, marah. Memukul samsak yang ada di hadapannya. Gadis lain yang sedang fokus pada sketsa di tangannya menoleh dengan enggan.

"Sekali lagi lo nonjok tiba-tiba begitu, gue gak segan-segan buat ngelempar ini buku ke muka lo, Anin." Gadis yang sedang membuat sketsa itu menyeringai, menatap Anin dengan tajam.

"Beban lo udah terlalu banyak La, gak usah belagu!" tangannya yang kurus juga sedikit berotot, masih terus meninju samsak dengan sisa tenaganya yang ada.

"Beban lo juga,"

"Gue masih bisa ngendaliin itu semua."

"Terus? Gue gak bisa gitu?" tanyanya, datar.

Lawan bicaranya menghela napas. Menyeka keringatnya sambil berjalan menuju gadis yang tengah fokus itu, Kalila. Ia memukul pelan kepala Kalila yang sedang dipakai untuk berpikir.

"Gue gak bilang lo gak bisa, La..," Anin lagi-lagi menghela napasnya kasar.

"Tapi dari cara lo barusan, itu sa–"

"La, gue yakin banget hati lo udah gak kuat sebenarnya, udah capek nahan semua masalah yang terjadi akhir-akhir ini. Kesehatan lo ikut nurun, belum lagi tanggung jawab lo yang besar untuk pameran kampus."

Kalila terdiam mendengarnya, tidak membuat ia hilang fokus pada sketsanya.

"Lupa lo beberapa hari lalu habis transfusi darah sampai 3 kantong gara-gara anemia lo kambuh? Orang gila sih, kalau lo sampai lupa," katanya penuh dengan kekesalan.

# # #

Seorang gadis dengan tinggi 168 cm berlari dengan langkah yang lebar di sepanjang lorong rumah sakit. Rambutnya yang terurai berantakan menutupi sebagian wajah cantiknya. Matanya memerah sebab menahan amarah, ada raut khawatir di sana.

Kakinya terhenti di depan kamar rawat inap dengan nomor pintu 17, terdapat nama pasiennya, Nn. Kalila, N (19 tahun).

"Haisstt!!" Tangannya membuka knop pintu dengan kasar. Matanya menatap tajam pada sosok yang tengah makan sandwich di ranjang dengan tenang. Gadis yang ditatap malah melambai dengan senyum tipis di wajahnya.

"Bener-bener lo ya! Otak lo dimana sih, La?!"

Kalila memejamkan matanya sebentar, ditelannya makanan yang sedang ia kunyah dengan pelan. Ia masih enggan untuk bicara apapun. Sungguh, ia benar-benar lelah. Gadis itu mengulurkan tangan kirinya, memberikan satu sandwich yang masih tersegel pada Anin.

"Nih. Makan dulu, lo pasti capek kan lari-lari?" kedua alisnya terangkat, memberikan isyarat pada Anin untuk mengambilnya.

Anin memperhatikan wajah Kalila yang sangat pucat, bibirnya membiru. Matanya melihat 2 botol infusan yang tergeletak di meja samping ranjang Kalila. Anin tahu, kondisi Kalila benar-benar tidak baik-baik saja hari itu. Bahkan ia juga bisa melihat tangan Kalila gemetar.

"Kata dokter, harus transfusi berapa kantong?" Anin membuka plastik sandwich yang diberikan Kalila. "Tiga. Mungkin besok malam baru boleh keluar dari sini," katanya dengan tenang, seolah itu adalah hal yang biasa baginya.

"Uhukk! Uhukk! Lo–" gadis itu tersedak, ia terkejut sendiri mendengar jawaban Kalila.

"Udah buruan makan dulu." Kalila tidak memberikan celah untuk Anin kembali berbicara, gadis itu mengalihkan pandangannya. Matanya kembali melihat langit yang masih tertutup awan.

EibisidiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang