23. Different

62 52 95
                                    

"Gue harap semuanya kembali normal, termasuk gue..,"

Kalila akhirnya datang ke rumah sakit tempat Anin di rawat. Gadis itu sudah berada di sana selama satu jam, sejak pukul tujuh tadi. Ia memilih untuk tidak mengikuti penutupan Olimpiade di kampusnya.

Saat Kalila datang, Anin dalam keadaan yang sudah siuman. Kalila melihatnya dari luar, ada Inge, Gea, Binar, dan seorang lelaki jangkung yang menunggunya. Alhasil, hal tersebut membuat Kalila mengurungkan niatnya untuk masuk. Ia memilih untuk menunggu mereka semua keluar, setidaknya untuk makan malam. Dan perkiraannya tepat, sama sekali tidak meleset. Keempat orang itu akhirnya keluar menuju kantin.

Kalila berdiri di ambang pintu, melihat kawannya yang sedang terbaring di dalam sana. Tidak ada yang menunggunya, sebab Kalila tahu bahwa Iren akan selalu pulang larut setiap hari kamis. Kalila membuka knop pintu itu lalu berjalan dengan pelan. Meletakkan buket bunga yang ia beli di tengah perjalannya menuju rumah sakit.

Kalila tidak bicara sepatah kata pun, ia hanya memandangi Anin yang kembali tertidur. Jemarinya bergerak cemas, ia ingin melihat gadis di depannya kembali pulih dengan cepat. Kenapa lo sampai bisa begini sih? Kalila menahan dirinya untuk tidak bersuara. Andai Anin tahu bahwa gadis itu sangat mengkhawatirkan dirinya, ia pasti akan merasa langsung baik-baik saja.

Ceklek!

Kalila menoleh saat mendengar suara pintu terbuka. "Kalila?" Inge memanggil pelan, memastikan bahwa yang datang benar-benar Kalila. Gadis itu tersenyum kikuk, "Gue cuma antar bunga kesukaan Anin, kalau dia bangun tolong sampaikan salam gue," katanya dengan cepat. Kalila berlalu begitu saja, membuat mereka, empat orang itu saling pandang. Termasuk Leo.

"Kalila.., tunggu!" Inge sedikit berlari mengejar Kalila, "Bisa kita ngobrol sebentar?" tanyanya dan dijawab anggukan oleh Kalila. Inge membawa Kalila ke taman rumah sakit tersebut, keduanya duduk pada kursi panjang yang kosong.

"Lo baik-baik aja kan, La?" Inge membuka suaranya terlebih dulu. Bukan tanpa sebab ia bertanya seperti itu, siapapun harusnya tahu bahwa Kalila tidak baik-baik saja. Bibirnya pucat, lingkar matanya sedikit menghitam, juga tangannya yang sedikit gemetar. Kalila menggelengkan kepalanya, menarik napas dalam dan membuangnya kasar. "Sedikit..," jawabnya pelan.

"Gue tau..," timpal Inge. Membuat Kalila merosotkan bahunya dan memilih untuk menatap langit. "Lo gak perlu khawatir, La.., karena Anin udah dijodohin sama cowok yang tadi. Gue tau cepat atau lambat, dia bakal bilang kalau dia suka sama lo." Kalila tidak berniat untuk bicara apapun.

Ingat kejadian di mana Anin menyatakan perasaannya pada seseorang? Orang itu adalah Kalila. Ya, Kalila Nayanika. Seorang perempuan, bukan laki-laki. Jika kalian saja terkejut mengetahui kebenaran ini, seharusnya kalian tahu dan bisa membayangkan bagaimana reaksi Kalila saat itu.

Setelah menutup pintunya, Kalila tidak bergeming sama sekali di balik pintu. Ia bahkan sudah membuka ruang obrolannya dengan Adi, berniat untuk membatalkan janji mereka.

"Kita semua tau bahwa hal itu gak dibenarkan di agama manapun. Tapi, bukannya setiap orang berhak punya rasanya sendiri? Gue sama yang lain nggak pernah mendukung dia untuk ada di jalan ini, La, tapi gara-gara lo.., semenjak dia kenal lo, dia tau gimana caranya untuk berdamai sama diri sendiri. Nggak ada hari tanpa gak ngomongin soal lo, dia begitu senangnya kenal sama lo." Inge ikut menyandarkan punggungnya. Ia mengatur napas dan kembali bicara.

Jadi dia begitu gara-gara gue? Jadi.., disini gue yang salah?

"Cowok yang tadi, nama dia Leo. Lo mungkin nggak tau kalau mereka dijodohin, tante Iren tau kalau ada masalah sama seksualitasnya Anin, dia bukan lesbian, dia bisexsual. Dia masih bisa suka sama cowok, makanya kenapa tante Iren soal perjodohan yang mungkin buat banyak orang itu kolot, dan -"

EibisidiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang