22. Luka, Rana, dan Angkasa

74 52 79
                                    

"Gue nggak minta untuk dihargai, gue cuma mau lo lihat usaha gue. Susah banget ya?"

Kalila duduk pada salah satu anak tangga menuju aula kampusnya. Gadis itu membolos untuk jam pertamanya, ada banyak hal yang sedang ia pikirkan. Pagi tadi Kalila melihat Amber menjatuhkan gelas dari tangannya, benar-benar seperti orang tidak punya tenaga. Kalila melihatnya diam-diam dari celah jendela yang menghubungkan antara dapur dan halaman belakang. Tidak hanya itu, Kalila juga melihat wajah Amber yang sedikit lebih pucat dari biasanya.

Kalila tidak pernah membenci Amber, ia hanya kesal. Ia berusaha keras untuk tidak mengubah rasa kesal itu menjadi benci yang berujung dendam. Hati kecilnya selalu berbisik bahwa ia khawatir akan segala hal yang terjadi di depan. Kalila tidak pernah punya planning jika sesuatu terjadi pada ia dan keluarganya. Terkesan tidak peduli, tapi ia juga khawatir. Gadis itu.., ia hanya tidak memiliki keberanian dan kata siap yang cukup untuk dibuat hancur kembali.

"Angkasa! Lo kenapa sih?" suara nyaring milik Rana memekik gendang telinganya, menyadarkan gadis itu bahwa waktu masih berjalan. Kalila memilih untuk tetap diam di tangga tempat ia duduk, tidak berniat menguping tapi ia juga tidak bisa menghindarinya. Waktu masih menunjukkan pukul sepuluh pagi, lorong-lorong menuju aula juga sepi sebab kelas sudah dimulai.

"Rana.., gue buru-buru. Kita ngobrol nanti habis makan siang," jawab Angkasa dingin. Kalila mendengar langkah kaki angkasa menaiki tangga, "Apa lo gak bisa hargain gue, Sa?" tanya Rana lirih. Kalila bisa membayangkan, gadis itu pasti menundukkan kepala dan mengepalkan tangannya. Angkasa kembali mendekat pada Rana. Suara dinginnya kembali terdengar, "Maksud lo apa?"

"Sebenarnya kita ini apa sih, Sa? Gue gak pernah ngerti sama perasaan lo ke gue. Kenapa lo selalu bersikap seakan gue bukan siapa-siapa?" suaranya terdengar sangat putus asa. "Terus lo mau gue gimana?" Angkasa dengan angkuhnya, sudah membuat Kalila muak. Ia berdiri, berniat untuk menyudahi perdebatan dua manusia itu. Tapi, langkah kakinya terhenti saat mendengar Rana kembali berbicara.

"Gue nggak pernah minta untuk dihargai sama lo, Sa. Gue cuma mau lo lihat usaha dan perasaan gue, tapi kayaknya sesusah itu, ya?" Angkasa menghela napas, "Kalau emang lo gak lagi bisa nerima gue, lo boleh ngelepas gue mulai sekarang. Lagian gue gak pernah minta lo buat suka sama gue, Derana," tutur Angkasa tanpa menunjukkan rasa bersalah sama sekali.

Gadis yang semua anggota BEM tahu sangat menyukai kucing, saat itu melayangkan tangannya dengan begitu ringan pada lelaki yang menurut Kalila tidak pantas untuk diperjuangkan.

"Brengsek!" teriak Rana, lalu berlari meninggalkan Angkasa.

Kalila menarik ujung bibirnya, keluar dari balik tembok. "Rana terlalu baik, ya?" Angkasa menoleh, menatap dingin pada Kalila. "Lo nguping?" selidiknya. "Ah.., kalau gue jadi Rana, mungkin gue udah nendang kelamin lo sampe bengkak dan masuk rumah sakit," jawabnya santai. Angkasa mengabaikan kalimat yang keluar dari mulut Kalila, memilih untuk melewati gadis itu. Ia tahu bahwa ia akan kalah jika berdebat dengan Kalila.

Kalila tidak semudah itu untuk melepaskan seseorang, tangan kanannya menahan pergelangan Angkasa. Ia membisikkan sesuatu di sana, membuat Angkasa terkejut. "Angkasa Bumi, lo adalah tersangka pertama yang bakal gue kirim ke IGD kalau sampe Rana kenapa-kenapa." Kalila melepas tangan Angkasa, berniat untuk mencari Rana.

"Kenapa? Bahkan lo gak terlalu deket sama Rana," tanyanya.

Kalila tersenyum sinis, kembali berbalik dan menatap Angkasa tajam. "Kenapa lo nembak Rana kalau ternyata ujungnya kayak gini? Lo gak ada bedanya sama cowok brengsek di luar sana, Sa," gumam Kalila yang masih terdengar jelas oleh Angkasa. Gadis itu melihat Angkasa terdiam cukup lama, matanya menerawang sekitar. Mencari jawaban yang tepat untuk diberikan pada Kalila.

EibisidiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang