7. How Could That Be?

113 63 68
                                    

"Keluarga? Bukankah ini semua terlalu sakit untuk disebut sebuah keluarga?"

Langit sore itu perlahan mulai gelap. Sejak berpisah langkah dengan Raja, Kalila langsung pulang ke rumahnya. Tidak, gadis itu tidak langsung masuk ke dalam rumah. Terhitung sudah satu jam ia mondar-mandir di lapangan yang berjarak hanya 100 meter dari rumahnya. Sesekali ia berteriak, tidak kencang, hanya teriakan asal. Ia meluapkan apapun yang mengganjal pada batinnya. Berusaha keras membuat perasaan sesaknya menghilang, atau setidaknya sedikit reda.

Tapi, ternyata tidak bisa.

Kalila mungkin sudah terbiasa pulang dengan keadaan mood yang tidak baik, tapi tidak pernah seburuk ini. Waktu menunjukan pukul tujuh malam, ia mengacak-acak rambutnya pelan. Mengambil keputusan untuk masuk ke dalam rumah.

Pintu dengan cat cokelat yang mulai memudar kini benar-benar terpampang nyata di hadapannya. Pintu yang beberapa tahun belakangan ini selalu ia hindari, sebab di dalamnya lebih sesak dari isi kepalanya sendiri. Pintu yang membuat lebamnya tak kunjung menghilang. Pintu yang membuatnya selalu menghindar jika ada pembicaraan soal keluarga.

Ia membuka pelan knop pintu itu, menampilkan cahaya remang-remang pada ruang keluarga. Saat pintu terbuka, ia bisa melihat jelas sosok bundanya sedang membaca koran.

Batinnya mencaci maki.

"Ngapain kamu pulang?" Amber meletakkan koran yang sedang dibacanya, melihat tajam ke arah Kalila. Tangannya beralih mengambil gelas yang sudah kosong di hadapannya. Dan–

PRANG! Gelas itu melambung tinggi, pecah mengenai pilar yang berdiri kokoh tidak jauh dari Kalila. Secepat apapun Kalila menghindar, pecahannya tetap berhasil mengenai pelipisnya. Darah segar mengalir melewati alisnya yang tebal. Perasaan umur gue baru 19 tahun, kenapa terus berurusan sama darah si? Gila. Tidak ingin berdebat, Kalila hanya membalas tatapan Amber dengan tenang. Ia menaiki anak tangga dengan cepat, bahkan tanpa melepas sepatunya.

Brengsek.. Batinnya terus mencaci. Ia melempar tasnya dan melepas asal sepatunya. Membuka pintu yang menghubungkan ke balkon kamarnya. Tubuh ringkihnya yang sudah lemas terbaring begitu saja. Ia membiarkan angin malam itu menghantam tubuhnya.

Empat hari kabur dan tidak ada yang mencarinya, lalu saat pulang malah terkena pecahan beling. Miris.

Tidak ada yang berubah, harum kamarnya masih sama. Semua yang ia tinggalkan terakhir kali juga masih utuh di tempatnya masing-masing. Mbok Mar sepertinya tidak berani menyentuh kamar gadis itu jika tidak ada pemiliknya. Ada banyak kertas bertebaran di bawah tempat tidurnya. Cat air dan kuas yang mulai mengering, juga beberapa gambar yang belum selesai ia kerjakan.

Matanya beralih pada ponselnya yang getar. Ada banyak pesan yang memenuhi notifikasinya. Salah satunya, dokter Tara? Ia bangun dari tidurnya, menyandarkan punggungnya, lalu duduk menghadap balkon.

from Dr. Tara
5:00 pm
Halo Kalila..
Apa kabar? Kamu okai?
Untuk besok saya gak bisa praktik
Jadi kita ganti jadwal ke lusa ya?
Kamu bisa?
read

Kalila terdiam sejenak, lusa adalah hari minggu. Hari dimana ia benar-benar tidak ingin diganggu. Lagipula, siapa juga yang pergi ke rumah sakit di hari minggu? Ah, ada sih, gue. Dengan cepat, Kalila membalas singkat pesan dokter Tara. Matanya kembali beralih, melihat setumpuk pesan yang dikirim oleh Anin. Gadis itu tertawa pelan.

from Aninnn
3:35 pm
Laaaa
Kalilaaa
How ar u?
U okaii today?
Sorry banget gue gak pulang semalam
Kata mbak Nia lo gak sarapan ya?
Lo gak pegang hape atau gimana sih?
Yaudah, pokoknya jaga diri ya!
Luv!
read

EibisidiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang