24. Infinity

70 52 73
                                    

"Gue berharap malam ini nggak berlalu dengan cepat, La."

Dua insan itu duduk di sebuah pelataran sebuah rooftop di salah satu bar yang tidak terlalu ramai, di tengah Ibu Kota. Raja sengaja membawanya kesana setelah mereka makan, bukan untuk menyuguhkan alkohol pada Kalila, tapi agar Kalila bisa melihat betapa cantiknya Jakarta jika malam hari tiba.

"Kalila?" yang dipanggil menoleh melihat sumber suara. Raja terlihat sama sendunya dengan sang gadis.

Apa yang sebenarnya terjadi? Raja membatin. Dalam diamnya, Kalila berhasil memenuhi isi kepala Raja. Kalian tahu? Kalila seperti seseorang yang sedang merasakan sakit yang tak bisa tertahankan dari dalam dirinya, tapi ia tetap berusaha untuk menahannya. Sesekali gadis itu terlihat mengusap kasar wajahnya, memastikan bahwa air matanya tidak boleh lagi membanjiri kedua pipinya.

Waktu sudah menunjukkan dini hari –sekitar pukul satu malam, Kalila merasa bersalah pada Raja. Seharusnya, lelaki itu sudah sampai rumah bukan? Seharusnya lelaki itu sudah istirahat di kamarnya dengan nyaman. Jemarinya bergerak cemas, menggenggam kuat tali tasnya. Setelah ini, kemana ia harus pergi?

"Lagi mikirin apa?"

Kalila mendadak mengabaikan suara di dalam kepalanya, matanya langsung beralih menatap Raja. "Gue minta maaf.., gara-gara gue lo malah di sini," jujurnya. Suaranya yang lemah memuat Raja kembali tersenyum hangat, "Gue bahkan berniat untuk nggak pulang malam ini, jadi lo datang di waktu yang tepat." Raja tidak mungkin membiarkan gadis ini sendirian, berkelana tengah malam. Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi padanya?

"Lo boleh datang kapan aja ke gue, La, gue nggak akan merasa terganggu," Raja menoleh pada gadis di sampingnya. Entah kenapa sejak kali ia menatap matanya, mata milik Kalila mirip sekali dengan sang papa. Dengan Pangestu. Raja punya keyakinan yang sangat tinggi, jika ia mengenalkan Kalila pada Yuna, Raja yakin Yuna akan menangis.

"Gue nggak terbiasa untuk merepotkan seseorang, Ja."

Diam-diam, Kalila berharap agar Raja tidak memahami dirinya terlalu dalam. Ia takut. "Itu hal yang bagus, La. Tapi terlalu banyak memendam segalanya sendirian, juga nggak baik." Kalila menggeleng pelan mendengar penuturan Raja, "Lo tau apa yang menakutkan di dunia selain Tuhan dan kematian?" tanya Kalila, masih memandang ke depan. Matanya berbinar karena pantulan cahaya dari gedung-gedung pencakar langit.

"Apa?"

"Manusia," jawabnya lalu ia terdiam beberapa detik. "Apalagi mereka yang suka menyakiti manusia lainnya secara sadar tanpa mau introspeksi diri." Raja sedikit menganga mendengar penjelasan gadis itu, tidak menyangka.

"Karena itu peraturan dan hukum dibuat, untuk ngebuat manusia jadi jauh lebih baik lagi dalam bersikap 'kan?" tanya Raja sedikit ragu.

"Mungkin iya untuk beberapa orang, tapi nggak untuk gue. Bagi gue.., peraturan lah yang merusak segalanya. Ngebuat gue nggak bisa kemana-mana," katanya pelan. Raja tersentak, apa maksudnya?

"Dibandingkan seorang kriminal, gue jauh lebih takut sama manusia yang banyak bicara. Yang selalu menawarkan bantuan, tapi ternyata suatu hari nanti dia bisa jadi orang yang paling bisa untuk ngubur kita hidup-hidup. Hal-hal kayak gitu, yang bikin gue ragu untuk percaya sepenuhnya sama seseorang," jelas Kalila.

"Kenapa? Nggak semua manusia begitu..," sela Raja.

"Memang nggak semua, tapi yang gue temui hampir semua begitu. Bahkan di keluarga gue sendiri, satu-satunya orang yang gue percaya nggak menyalahkan gue, ternyata dia ikut menyalahkan gue diam-diam. Kalau dari yang paling dekat, sedarah, alias keluarga sendiri aja gak ada yang bisa dipercaya, apalagi orang lain 'kan?" Raja meneguk ludahnya sendiri.

EibisidiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang