Seperti yang sudah di minta semalam, Wonwoo sudah pulang ke rumah pagi-pagi sekali. Tadi pagi buta, Mingyu mengajak Wonwoo ke daerah Muara Angke untuk berburu seafood murah yang fresh untuk mereka pakai bakar-bakaran malam nanti. Setelah berkeliling, sekitar jam 8 pagi keduanya langsung menuju rumah Wonwoo karena katanya Seokmin ingin bicara.
Sekarang, walaupun baru jam 9, ada Mingyu, Seokmin, Leechan yang sudah di ruang tamu, menonton acara akhir pekan dengan sisa sarapan bubur mereka yang styrofoamnya belum di buang di meja. Wonwoo datang dari dapur mengambilkan satu teko air dingin dengan gelas plastik yang di tumpuk, di taruh di atas meja sebelum bergabung ke sebelah Mingyu.
"Nah, mau ngomong apa deh cepetan... gue belom beres-beres rumah nih.." ujar Wonwoo.
"Iya, mas. Aku juga mesti siap-siap deh.. belom mandi nih.." sahut Leechan.
Seokmin yang tadi fokus menonton acara memancing di televisi, jadi mengalihkan pandangannya, kemudian menatap kedua adiknya dengan ragu. Pria itu kemudian mengeluarkan lipatan kertas dari celana panjang batiknya, dan diberikannya ke Wonwoo. Leechan ikut merapat ke punggung Wonwoo, bermaksud ikut membawa isi surat tersebut.
Mingyu tidak kalah keponya. Namun setelah pria itu membaca kata-kata 'mutasi', dan ada perubahan pada ekspresi Wonwoo dan Leechan, Mingyu jadi menghela napas, kemudian melepaskan rangkulannya dari Wonwoo.
"Dek, aku mau ngerokok dulu ya di depan..." ujar Mingyu, beralasan.
Sejujurnya dia hanya ingin memberikan waktu kepada tiga saudara itu.
Yang sekarang, setelah Mingyu ke depan, mereka hanya bisa saling tatap, kemudian pada satu titik mereka saling mengalihkan pandangan. Wonwoo menatap pintu kamarnya sendiri yang terbuka, yang gorden warna beigenya itu tertiup angin dari jendela di dalamnya. Sementara Leechan menunduk dalam.
"E-emang...." Leechan mencoba menanggapi dengan gagap, "Emang.. mas Seokmin harus setuju sama mutasinya ya?"
Leechan mencoba untuk tidak menangis, tapi tidak bisa. Bayangan-bayangan soal hidup sendirian tiba-tiba mungkin saja hinggap di pikirannya. Dia biasa ditinggal Wonwoo, atau Seokmin. tapi tidak ditinggal keduanya. Leechan tidak siap tinggal sendirian di rumah ini. Yang walaupun terlalu sempit untuk bertiga, tapi terlalu besar untuknya sendirian.
Seokmin tersenyum tipis, kemudian mengangguk.
Wonwoo yang sebal. Dia tidak mengerti kenapa Seokmin masih saja bersikap kaku untuk setiap keadaan yang seperti ini. Tapi dia tidak bisa menyalahkan kembarannya itu. Karena Wonwoo sendiri selalu seperti itu.
"Bapak sama Ibuk udah tau, Seok?" Wonwoo mendengar Seokmin menghela napas untuk menjawab pertanyaannya.
"Belom, Nu. Baru mau gw kasih tau besok pagi."
Ah.. tapi Wonwoo akhirnya berasa juga. Rumah kontrakan yang pembayarannya selalu dibagi dengan Seokmin, tempat saksi bisu saat mereka bertengkar, saat Wonwoo kambuh hebat, saat Leechan lulus jadi ASN. Rumah tersebut akan kosong dalam waktu 14 hari. Hanya tersisa Leechan dan barang-barang milik kedua kakak kembarnya.
"Sampe kapan?" tanya Wonwoo, mulai dengan suara sedikit lirih.
Seokmin menunduk, terkekeh kecil, kemudian menggeleng.
"Ngga tau, Nu.. belom tau..." menghapus air matanya yang tidak bisa terbendung.
Leechan dan Wonwoo langsung menatap ke arah Seokmin. Tidak jelas bagaimana, namun suasana haru biru sudah menyelimuti ketiganya yang kini saling memeluk. Baik si kakak pertama, si kembar maupun si bungsu tidak pernah menangis untuk satu sama lain seperti itu. Mingyu yang di luar sampai kaget dan harus menengok ke belakang, menemukan Wonwoo yang membenamkan wajahnya pada bahu Seokmin sambil mengelus kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Minwon FWB 2.0 ; Abditory
FanfictionSequel of Minwon FWB ; A Guide for The Lost by @tetehcarat on twitter