22_Teka Teki

1.3K 304 228
                                    

Part ini akan dipublish lebih panjang tapi saya mau pergi dulu. 100 komen, update malam ini sisanya dengan part yang sama, oke? Play mulmed Paling Tidak by Melly Goeslow

..

Hari kelima Adelia berada di rumah sakit, sampai dengan detik di mana ia dinyatakan boleh pulang dengan beberapa advice mengenai kakinya, Ayah tidak juga datang berkunjung. Timorpun juga tidak nampak batang hidungnya. Adelia berusaha menggunakan logika berpikir jika rumah sakit tentu bukan tempat yang baik bagi orang-orang sehat di jaman pandemi seperti ini.

Tapi sekeras apapun ia menggunakan logika, ada hati yang iri ingin diperhatikan. Rasanya ingin bertanya banyak hal pada Ibu yang menjaganya penuh, namun merasa tidak pantas. Pertama karena Adelia merasa menjadi anak durhaka jika menanyakan kabar Ayahnya padahal sudah jelas ada Ibu yang selalu ada untuknya. Kedua, siapa dirinya bagi Timor, bahkan di pertemuan terakhir mereka, Adelia menggantungkan perasaan laki-laki itu hanya karena ego tidak ingin tersakiti. Perempuan itu mulai menyadari bahwa –mungkin, keputusannya tarik ulur perasaan Timor adalah hal terbodoh yang pernah ia lakukan.

"Buk."

"Iya?" Wanita berusia lima puluhan itu menoleh saat sang putri memanggilnya.

"Nanti pulangnya gimana?"

"Pulangnya naik mobil," Ibu sudah selesai mengepak baju Adelia dan beberapa peralatan makan dan mandi.

"Ibu nyewa angkot?"

"Enggak, nanti ada yang jemput."

"Ibuk butuh bantuan orang lain, badanku berat."

"Iya udah ada," Ibu mematikan televisi, sesaat kemudian ada suster muncul di ambang pintu memberitahukan bahwa obat dapat diambil di ruang farmasi.

"Minta tolong Pak Jarwo?"

Ibu mengangguk, "Ibuk ke bagian farmasi dulu, kamu jangan ke mana-mana."

"Iya," mana berani Adelia beranjak dari tempat tidur tanpa bantuan orang lain? Ia masih trauma karena kemarin sempat oleng dan hampir jatuh saat menurunkan satu persatu kakinya pelan-pelan dari ranjang. Untuk ada Ibu yang sigap.

Frustrasi, perasaan yang sempat menghampiri karena ketidakberdayaannya. Menatap jendela rumah sakit, ia melihat matahari di luar sepertinya sangat terik. Kata Ibu setibanya di rumah nanti, dirinya tidak boleh banyak kegiatan, harus nurut supaya pengobatan kakinya berjalan dengan lancar. Tidak boleh ada insiden lagi, dan yang terpenting, Yangti juga ikut mengawasi gerak-geriknya. Adelia pasrah, hidup di bawah kungkungan Yangti akan membuatnya tidak nyaman, tapi mau bagaimana lagi?

Tok, tok!

Adelia menoleh ke arah pintu, untuk sesaat nafasnya tertahan saat tahu siapa yang kini menghampirinya. Meski separuh wajah tertutup masker, dia kenal betul laki-laki menyapanya.

"Assalamu'alaikum, Adelia."

"Wa'alaikumsalam," Adelia segera menaikkan masker medis yang ia pakai. "Kok bisa di sini?"

"Jemputin kamu," kedua larik mata laki-laki itu menatap kaki Adelia, lantas mengembalikan atensinya pada wajah perempuan yang hatinya kini jelas tidak akan menjadi miliknya.

"Ada Pak Jarwo yang jemput, Ibuk gak bilang sama Mas?"

"Iya kalau Ibu bilang aku yang jemput pasti kamu nolak," ditariknya kursi mendekat sisi ranjang. "Timor ada pertemuan sama Pak Bupati."

PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang