Twilight-1

2.3K 201 19
                                    

Pagi, he he he kaget ya cerita ini kok update tapi beda isinya? Behahahaha, maap yang kemarin aku rombak dan ini kuharap lebih fresh. Semoga suka.

Derit pintu yang dibuka perlahan bisa terdengar menyayat telinga jika ruangan tak berpenghuni. Sepatu kets berwarna abu-abu gelap melangkah perlahan, memandangi ruangan besar ruang tamu dan berhenti pada jendela yang masih tertutup tirai. Ia menarik kain itu dan memalingkan wajah, sebab sinar matahari senja langsung menerpa tanpa penghalang. Ruangan itu pernah menjadi tempat favoritnya menghabiskan akhir pekan bersama mendiang ayahnya.

Tas cokelat dari kulit terjatuh dari pundaknya ketika akan menaiki tangga ke lantai dua dan tiga, isi tas sedikit keluar di lantai, buru-buru dipungutnya dan beranjak. Di lantai dua masih dijumpainya sosok wanita bersanggul dan berkulit hitam yang sibuk menyedot debu.

"Hai," sapanya pada wanita berkulit hitam.

"Hai, kukira kau datang selepas matahari terbenam, Kim," balas wanita berkulit hitam.

"Seharusnya begitu, membawakanmu makan malam juga," kata Kimaya.

"Oh, tidak perlu, Sayang. Justru kau harus urus dirimu. Lihatlah! Nyonya pasti akan sedih dan kepikiran melihatmu saat ini!"

"Aku baik-baik saja, Norah!" Kimaya berusaha menyunggingkan senyum.

"Sebentar lagi ini selesai, nanti kubantu menata barang-barang di lantai 3," kata Norah.

"Jangan terburu-buru, aku naik dulu."

Semakin Kimaya melangkahkan kaki, pula makin kuat kenangan-kenangan manis yang tersaji. Ia tak menyesali apa yang sudah terjadi, pikiran-pikiran buruk pada Tuhan saat kedua orangtuanya dipanggil mendahuluinya. Sebagian besar perabotan rumah sudah didonasikan, Kimaya yakin jika ayah dan ibunya pasti mendukung tindakan tersebut. Jika orang lain membutuhkan, kenapa tidak diberikan daripada teronggok sia-sia.

Kimaya mengembuskan napas ketika sudah sampai di lantai tiga, langit sudah berubah twilight dan angin malam mulai turun. Kimaya mulai berpikir jika lantai satu dan dua rumahnya disewakan, pasti akan memerlukan tangga di luar rumah agar sampai ke lantai tiga tanpa harus masuk lewat pintu utama. Kimaya memejamkan matanya, menikmati apa yang terpampang di netranya, sungguh kuasa Tuhan paling indah.

Sekelebat bayangan Daffin lewat, tersenyum kemudian pergi menghilang bersama wanita selingkuhannya membuat Kimaya membuka mata. Saat itulah Norah muncul membawa tasnya dan tersenyum.

"Ternyata capek juga untuk sampai ke sini," komentar Norah. "dan kau akan tinggal di atas sini sendirian, Mam?"

Kimaya tertawa kecil. "Harusnya arsitek merekomendasikan lift."

Keduanya tertawa kemudian duduk di gazebo terbuat dari kayu yang dipindahkan Kimaya susah payah, karena harus bongkar pasang. Norah membuka tas dan mengeluarkan kotak bekal, isinya separuh besar kue brownis pemberian salah satu jemaat gereja di ujung gang kampung rumahnya.

"Kau yakin akan menyewakan lantai bawah?"

"Ya, daripada kosong," kata Kimaya.

"Menyewakan pada siapa? Jangan sembarang orang, ini adalah rumah warisan orang tuamu satu-satunya, banyak kenangan tersimpan di sini."

"Aku tahu, Norah. Semoga aku menemukan orang yang tepat, mungkin ada pejabat negara yang akan menyewa menjadikannya kantornya mungkin."

"Bisa saja," kata Norah.

"Ayah dan ibu pasti akan setuju dengan ideku ini," yakin Kimaya.

"Bibi enggak setuju dengan ide gilamu itu, Kimaya!" seru seorang wanita berambut pendek dan bergincu merah tua, menentang ide Kimaya untuk menyewakan lantai satu dan dua rumah orang tuanya.

Kimaya hanya tersenyum dan merendahkan nada suaranya. "Daripada aku tinggal sendirian di atas, lantai bawah kosong, Bi. Lagi pula itu akan menambah nol di rekeningku pasca bercerai dengan Daffin. Aku hanya mengandalkan gajiku saja."

"Aku sudah berkali-kali bilang sama kamu, meninggalkan Daffin bukanlah ide yang bagus untuk masa depanmu, Kim!"

Kimaya menarik napas dan buru-buru mengembuskannya. "Kenapa Bibi enggak setuju, sih? Apa Bibi mau tinggal denganku?"

"Jangan ngaco!" Wanita yang dipanggil Kimaya sebagai bibi itu bangkit dari kursi kerjanya dan berjalan ke jendela ruangannya. "Enggak mungkin aku tinggal lagi sama kamu di sana, toh Egar sudah balik dari luar negri."

"Ya sudah, sepertinya aku harus pergi," kata Kimaya pamit.

Bibi Kimaya-Elena-berbalik, cukup terkejut saat melihat Egar muncul dari balik pintu ruangan. Mata Elena membelalak cukup tak suka jika Egar bertemu dengan Kimaya, entah kenapa, instingnya seolah mengatakan jika Egar akan bertindak tak beres pada keponakannya itu.

"Kimaya! Apa kabar, hmm?" Egar membuka kedua lengannya guna akan memeluk Kimaya, akan tetapi janda tanpa anak itu mundur selangkah.

"Aku baik, Paman. Paman kapan balik?" tanya basa-basi Kimaya di balik sikapnya.

Egar melirik istrinya, tertawa kecil akan sikap Kimaya, "Kemarin, harusnya begitu datang aku dan bibimu langsung menemuimu, mungkin makan malam di restoran mewah sesekali."

"Itu terdengar menyenangkan, Paman."

"Bagaimana kalau malam ini, Sayang?" tawar Egar melihat Elena.

"Sayangnya aku ada janji temu dengan penyewa pertamaku, Paman. Jadi, tak pasti akan bertemu lama ataukah cepat, so bisa lain waktu, iya kan, Bi?"

"Benar, aku baru akan mengingatkanmu," kata Elena terbata.

"Ouh, sayang sekali. Baiklah, sebagai hadiah kepulanganku, ini untukmu!" Egar mengeluarkan dompet dari sakunya dan menyodorkan empat lembar voucher belanja salah satu supermarket besar.

"Kau bilang itu untuk Elenor, Egar?" tanya Elena mengingatkan.

"Tidak, tidak. Ini cocok untuk Kimaya, aku yakin dia butuh keluar ke supermarket mengisi kulkasnya, iya kan?"

Kimaya mengangguk di sela senyumnya, "Ini hadiah yang cocok denganku daripada makan malam, maaf soal itu."

Kimaya mengambil voucher belanja dari tangan Egar dan melenggang keluar dari ruangan Elena. Ia masih mendengar Egar melontarkan kata-kata manis pada istri keduanya itu sewaktu Kimaya belum menutup pintu. Soal bertemu penyewa rumah sebenarnya hanya alasan kesekian untuk menghindari tatapan tak suka Bibi Elena. Ya, Elena sudah sempat mencurigai Kimaya ada main api dengan Egar, meski ditolak mentah-mentah Kimaya jika hubungan antara dirinya dan Egar hanyalah sebatas keluarga.

Ponsel Kimaya berdering, nomor tak dikenal menelepon. Dari seberang seorang pria mengenalkan namanya Jim dan sudah berada di depan rumahnya untuk berencana menyewa. Kimaya pikir, Jim adalah orang yang benar-benar membutuhkan tempat guna mendirikan usaha.

Nyatanya! Kimaya perlu mengendurkan otot kepalanya sebab, penyewa bernama Jim itu tak datang sendiri, melainkan bersama dua orang wanita berpakaian minim berniat menyewa lantai satu rumahnya untuk membuat film biru. Kimaya masuk dan membanting pintu rumahnya untuk mengusir penyewa pertama yang kurang sesajen.

"Bagaimana bisa mereka berpikir jika rumahku bisa dijadikan tempat syuting film porno, bertiga, berempat, the fucking man!" omel Kimaya tak habis pikir.

Kimaya mengunci ganda pintu dan menaiki puluhan tangga dan masuk ke kamar sementaranya di lantai satu, sebelum tukang memasang tangga dari besi di luar rumah ke lantai tiga. Kimaya memilih mandi dan berencana menggunakan voucher belanja pemberian Egar agar pikirannya tenang.

"Semoga calon penyewa berikutnya otaknya penuh," harap Kimaya setelah mengunci rumahnya dan pergi ke supermarket guna berbelanja.











Infinity ✓ (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang