Mikay terbangun dengan perasaan bingung, begitu membuka mata langsung mengedarkan pandangannya ke sekitar, tubuhnya dipaksa untuk siaga oleh instingnya sendiri. Ia hendak mengeluh, tetapi tak bisa, lebih tepatnya tak sempat, sebab ada seseorang berambut pirang hendak mencakarnya. Mikay menghindar, sungguh tenaganya berkurang banyak entah mengapa, dua orang wanita berseragam membawanya masuk ke ruangan dan menutupnya rapat.
Aku lagi-lagi terbangun di tempat yang tak kukenal! Ini di mana? Mengapa banyak sekali ruangan? Apa ini tempat si artis itu berakting? Tapi, kenapa aku bisa ada di sini jika tempat ini untuk para artis? Aku bukan artis!
Miky melangkah cepat menghindari para wanita berseragam, berlari pun tampaknya pasti akan tertangkap, sebab ujung lorong ini terdapat pagar besi yang menggunakan sandi ataupun sidik jari. Mikay sudah memanjat, tetapi kakinya tertahan, seorang pria tersenyum ke arahnya.
"Mau ke mana kau, huh?"
Mikay mendelik, sebab wajah pria yang menangkap kakinya seperti ada di film Hollywood, wajah para penjahat yang tak berperasaan, berotak kriminal dan mesum. Mikay menjerit, tetapi tak diindahkan, bahkan sampai menendangnya sekalipun.
"Lepaskan aku! Kau pria berotak kriminal, mesum dan penjahat wanita 'kan!"
Tak ada jawaban, hanya rengkuhan tangan yang semakin tega menyeretnya menjauh dari pagar, mereka yang lain juga berseragam menyeret para wanita yang ada di lorong tadi, jeritan mereka membahana dan berujung senyap. Mikay tak menyukai apa yang tengah terjadi saat in!
Enggak! Aku enggak boleh terus ada di sini menuruti mereka! Siapa mereka yang menjerat langkahku, huh! Aku wanita bebas yang sudah bercerai dengan Daffin!
Mikay menginjak kaki perawat yang menangkap tubuhnya, membekuk tengkuk si Pria ketika memperhatikan kakinya karena kesakitan, Mikay berlari sekuat tenaga yang ia punya, berteriak pada siapapun yang sekiranya membantu melarikan diri. Ia tak segan menggoyang-goyangkan pagar kokoh itu berharap bisa roboh hanya karena dorongannya.
Sesuatu yang berujung lancip menancap di punggungnya, disusul dengan zat cair merasuk dalam daging tubuhnya. Otot Mikay melemas dan kesadaran perlahan hilang, tubuh wanita cantik itu limbung di lantai. Pria yang kesakitan kakinya diinjak Mikay mengacungkan jempol ke rekan kerjanya di lorong lain, bergegas mengangkat tubuh pasien wanita itu ke kamarnya. Ia sudah lelah berhitung kapan terakhir kali pasien itu bersikap baik dan seperti orang normal pada umumnya, hitungan lain justru dihabiskan oleh ketidakwarasan Mikay.
Mikay ditidurkan di brankar, tubuhnya dibalut ikatan dan ditinggalkan dengan kamar dalam keadaan terkunci. Lorong kembali terkendali, semua pasien sudah berada di dalam kamar masing-masing, termasuk Mikay dan dunianya sendiri. Mikay tertawa dalam alam bawah sadar, bermimpi tengah mengenakan gaun berwarna merah jambu, seorang pria tua berbadan gendut dan berjenggot panjang tersenyum sembari memainkan sebuah alat musik.
Anak-anak kecil perempuan dan lelaki mengelilinginya, bergandengan tangan sambil tertawa riang, menyanyikan lagu yang tak diketahui siapa penyanyinya, pun tetap asyik untuk mengiringi gerakan. Mereka bertepuk tangan, Kimaya berhenti bergerak, begitu juga dengan gaunnya usai digoyangkan bak payung yang sudah dilipat.
"Kau sangat cantik, Mikay!"
"Ya, kau benar! Dia sangat pandai berdansa!"
"Harusya kau ajari mereka berdansa begitu cantik, Mikay!"
"Ya, Mikay! Aku mau belajar dansa denganmu!"
"Ya! Ya! Ayo, ajari aku!"
"Ajari aku juga!"
Mikay hanya tersenyum, pantulan dirinya di kubangan besar dikelilingi rerumputan dan empat angsa cantik di tengahnya menyita perhatian. Jemari tangan Mikay mengelus wajah rupawan, kemudian pada lehernya yang mengenakan kalung mutiara berwarna merah muda, lalu pada gaunnya yang cantik bak Cinderella. Mikay bangkit, memperhatikan tangannya yang sehalus pantat bayi, dipujinya dirinya di bawah naungan langit biru dan sinar senja.
"Mikay, maukah kau ikut denganku? Bibi Rona sudah membuatkan daging panggang dan mau menuang anggur di rumah untukmu," kata seseorang yang berlutut di hadapan Mikay.
Mikay tersipu malu, melempar pandangannya ke arah lain, tetapi sisi lain dunia menampilkan Kimaya yang terperangah dengan apa yang dilihatnya. Kimaya tertegun melihat sosok dirinya yang tengah mengenakan gaun dan dikelilingi oleh orang-orang yang sama sekali tak dikenalinya dengan baik, hebatnya mereka mengajak bicara dirinya yang lain seolah sudah mengenal lebih dari yang diperkirakannya.
Kimaya menggerakan tangannya di hadapan dirinya yang tengah mengenakan gaun, kemudian pada pria tua yang masih sibuk memainkan alat musik kuno, juga pada anak-anak yang tersenyum sembari mengolok dirinya yang lain. Kimaya bersikukuh berambisi menyita perhatian mereka, bagaimanapun caranya.
"Apa yang telah terjadi? Bagaimana bisa aku melihat diriku sendiri seperti aku melihat sebuah film dan aku artisnya?" Kimaya mempertanyakan apa yang dilihatnya.
Tak ada jawaban, tetapi mereka pergi ke berbagai arah tanpa kata, seolah menjawab pertanyaannya tanpa kata. Kimaya mengekori ke mana mereka pergi, ia menemukan sebuah rumah terbuat dari kayu dan di dalamnya sudah ada wanita bergaun cantik itu tengah tergeletak di sebuah ranjang berkelambu, ketika ditengok kimaya terkejut hingga nyaris terjengkang! Wanita bergaun merah muda itu bersimbah darah, tergeletak tak bernyawa dengan netra terbuka.
"Siapa! Siapa yang membunuhnya? Kapan? Bukankah tadi aku baru melihat dia di taman bernyanyi dan berdansa seperti angsa? Kini ... gimana ini bisa terjadi? Ada apa?"
Kimaya terus mengatakan pertanyaan-pertanyaan yang berkubang di benaknya, sembari memperhatikan pisau yang mencap di perut sosok dirinya yang lain. Ia berkeliling, mencari sumber dari peristia yang tengah terjadi ini. Kimaya menemukan pria tadi berbicara dengan si Wanita tergeletak di lantai tak berubin, tangannya berlumuran darah dan ada banyak busa di mulut dan dagunya.
Kimaya membungkam mulut dengan tangannya, alasan apa sehingga mereka terbunuh? Ia hendak berbalik, tetapi sudah ada di masa lain, langit-langit rumah berubah menjadi ciptaan alami dari sang Maha Kuasa, lantai yang dipijaknya berubah dataran berumput dan desau angin diiringi alunan musik lembut entah berasal dari mana.
"Kenapa aku di sini? Ini bukan tempat yang kukenal lagi? Aku masih waras, Tuhan! Kenapa aku lagi-lagi ada di tempat yang aneh? Aku kadang ada di tempat seperti sebuah rumah sakit, sekarang ini di alam bebas, sebnarnya aku ini kenapa! Jawab aku! Tuhan, kenapa dengan diriku!"
Kimaya menghempaskan dirinya di rerumputan, menjambak segenggam dan mencabutnya dengan harapan jika itu bisa membuat perasaannya baik-baik saja, nyatanya tidak!
"Bibi Kimaya!" seru sebuah suara anak kecil yang riang dan lincah tergelak tawa.
"Avery?"
"Hei, bangunlah! Buatkan aku makanan yang sama dimakan Avery!"
"Ansell? Artis sok terkenal," kata Kimaya mencoba meraih.
"Mikay, mama rindu," kata seseorang yang mempunyai wajah selembut rembulan.
"Mama Sharon! Mama," panggil Kimaya.
Orang-orang yang dikenal Kimaya berputar bergantian mengajaknya bicara, tetapi Kimaya justru terdiam dan hanya melihat di dalam kebingungan hingga suara-suara itu semakin cepat dan membuat kepalanya bak gasing. Kimaya memejamkan mata sembari berteriak, meminta semua orang yang muncul di hadapannya dam dan tak berputar mengitarinya.
To be continued . . .
KAMU SEDANG MEMBACA
Infinity ✓ (END)
Romance21+ | Update sebisanya ∆Don't Copy My Story∆ Kimaya tak percaya lagi dengan cinta sejak bercerai dengan suaminya. Perekonomiannya amburadul dan terpaksa menyewakan lantai satu dan dua rumah peninggalan orang tuanya kepada seorang pengusaha kuliner...