Deretan meja hidangan untuk para tami undangan begitu menggoda perut Avery. Gadis kecil itu berkeliling, tak segan menerobos tamu undangan yang sebagian besar menikmati jamuan sambil berdiri dan mengobrol. Avery yang punya rasa ingin tahu tinggi menghampiri meja nasi rames, dalam satu piring terdapat banyak lauk dan nasi. Penjaga meja menu tersenyum ramah pada Avery yang melongo, memberi sepiring nasi rames dan sendok makan.Avery mencari tempat duduk terdekat dan makan, entah karena lapar ataukah masakan yang belum pernah dimakan, sepiring nasi rames kandas dengan cepat. Avery mulai mencari makanan lain yang disajikan, matanya menangkap makanan berasal dari daging hewani yang katanya paling lezat sejagad raya, rendang. Avery meminta satu porsi dan tak lupa menyambar cup es manado.
"Kau bisa habiskan semuanya?" tanya pria Owen yang tiba-tiba duduk di sisi Avery.
Avery hanya mengangguk, sebab mulutnya penuh dengan makanan. Owen takjub dengan selera makan Avery yang tak biasa, bahkan untuk seumurannya. Kimaya menemukan Avery tengah makan sambil mengobrol dengan Owen pun lega, sebab sedari tadi sibuk mencari sosok gadis kecil itu.
"Avery, apa kau sudah selesai? Bibi ngantuk, kita kembali ke kamar hotel, ya?" tawar Kimaya yang berdiri di belakang Avery.
"Avery masih mau makan ini, enak sekali. Avery enggak pernah coba ini, juga belum ngantuk," tolak Avery.
"Kita belum kenalan secara resmi, aku—" Owen hendak memperkenalkan diri secara baik-baik pada Kimaya, tetapi tangan Owen hanya menggantung di udara.
"Maaf, aku tidak ingin berkenalan," tolak Kimaya.
"Eits, jangan gitu donk, dia ini kan temenku juga, enggak baik banget, sih, kurang beruntung iya, kalian hanya kenalan doank loh ini, enggak langsung ke pelaminan," komentar Wenda menahan lengan Kimaya hendak pergi.
"Sorry, deh, soal kejadian di pesawat, beneran aku enggak sadar kalau kau adalah teman Wenda. Aku Owen," ujar Owen memperkenalkan diri.
Kimaya tak bereaksi, sudah tak mau membuka hatinya lagi. Wenda sudah gemas dengan sikap abai Kimaya, pun memegang tangan bestie-nya itu dan mengulurkannya pada Owen. Owen hanya tersenyum melihat sikap Kimaya yang benar-benar enggan mengenalnya.
"Tidak apa kau tak mau mengenalku, izinkan saja aku yang mau mengenalmu," kata Owen menghibur dirinya sendiri.
"Bibi Kimaya itu bakal jadi mama Avery, jadi begitu," kata Avery menengahi mereka bertiga.
Kimaya, Owen dan Wenda menoleh ke arah Avery bersamaan. Wenda melongo, sedetik kemudian membantah kemauan Avery karena merasa tak enak dengan Owen.
"Papamu kan sudah melenceng ke mana-mana, makin bobrok jadi bi—" Kimaya membungkam mulut Wenda rapat-rapat.
"Avery udah selesai makan 'kan? Jenuh ya? Mau jalan-jalan enggak?" tawar Kimaya mengalihkan perkataan Wenda yang tak senonoh.
"Dia harus tahu gimana melencengnya keluarga mereka, Kim!"
"Bibi Wenda mau bilang apa, sih?" tanya Avery.
"Sudah jangan dengerin," kata Kimaya yang menggandeng Avery pergi.
"Cepet atau lambat dia harus tahu!" seru Wenda.
Kimaya dan Avery keluar dari ballroom hotel, merasa diikuti oleh seseorang, pun keduanya menoleh ke belakang. Owen yang ada di belakang mengekori mereka berdua.
"Kenapa kau mengikuti kami?" tanya Kimaya.
"Aku juga bosen di dalam, jadi sekalian ikut kalian," jawab Owen enteng mengangkat bahu sambil mengedik.
"Mmm, boleh aja, tapi traktir Avery main di Time Xone?"
"Bibi bisa traktir Avery main dan beli apa aja, enggak usah pake ajak dia juga," kata Kimaya membungkuk berbisik pada Avery.
"Kalau Avery capek bisa minta gendong dia, Bi."
Avery membalas bisikan Kimaya, tetapi Owen benar-benar bisa mendengar obrolan mereka. Owen hanya tersenyum melihat kedekatan mereka yang tanpa ikatan keluarga. Jika mereka bisa, kenapa dirinya tak bisa melakukannya? Dalam bayangan mereka, bakal bermain di Time Xone bak keluarga kecil bahagia dalam dongeng, hal yang diimpikan Owen sejak keluarganya berantakan.
Nyatanya, Owen harus berpuas diri membeli es krim cone dan duduk-duduk di taman hotel, mendengar Avery bercerita soal sekolahnya yang daring sejak ada virus pandemi. Kimaya pun menimpali jika pandemi membuat pekerjaannya cukup terhambat, mereka bercerita bergantian hingga Avery menguap.
"Kurasa inilah manfaat membolehkanku bergabung dengan kalian?" tebak Owen yang mengabaikan es krim cone miliknya.
"Kurasa iya," kata Kimaya mengiyakan.
Owen menggendong Avery di punggung, gadis kecil itu sudah memejamkan mata ketika dirinya mulai berjalan. Kimaya bertugas sebagai pemandu jalan kembali ke kamar hotel. Diam, keduanya terdiam, lebih tepatnya tak tahu harus membicarakan apa? Owen beberapa kali menoleh ke arah samping, sementara Kimaya yang diperhatikan hanya diam.
"Bicaralah, agar kau berhenti melihatku," kata Kimaya.
Owen berhenti sebentar untuk membenarkan posisi gendongan Avery yang tidur di punggungnya. "Bagaimana bisa kalian sedekat itu tanpa ada hubungan? Apa kalian udah kenal lama? Apa kau dan papanya ada hubungan?"
"Banyak sekali pertanyaanmu? Menyebalkan," kritik Kimaya menertawakan Owen, " kami kenal baru-baru aja, sih. Dia dan keluarganya menyewa lantai satu dan dua rumah orang tuaku dan aki tinggal di rooftop. Dia sering main ke rumah kalau orang tuanya sibuk. Enggak ada yang istimewa, mungkin kami sama-sama kesepian, jadinya cocok."
"Kalau begitu dia bisa cocok juga denganku, sama-sama kesepian."
"Bisa jadi, dia anak yang ceria dan suka bertanya," jelas Kimaya.
"Apa benar kau ...."
"Apa?"
"Seorang janda? E, maksudku pernah menikah. Enggak ada maksud lain." Owen mengatakannya dengan hati-hati.
"Kurasa Wenda udah cerita, ya kan?" tanya Kimaya.
"Ya, dia hanya cerita punya bestie yang single dan udah pernah menikah, hanya itu saja. Hanya enggak percaya saja kau sudah pernah menikah." Owen membenarkan gendongan Avery.
Kimaya berhenti berjalan, cukup tertegun karena melihat sosok yang ia duga tak akan muncul di hadapannya, Ansell. Pria yang seharusnya bertanggung jawab atas Avery sebagai orang tua berjalan mendekati Kimaya. Pria berprofesi sebagai artis itu pada awalnya akan masuk ke kamar hotel, tetapi begitu melihat Kimaya dan Avery jelas ada di sekitarnya, pun urung.
"Mau apa kemari?" tanya Kimaya pada Ansell, sementara Owen tertegun dan merasa familier dengan sosok Ansell.
Ansell mengambil alih tubuh Avery dari gendongan Owen. "Kaupikir aku ke sini menemuimu?"
"Dan kau akan menelantarkannya lagi?" tanya Kimaya.
"Urusa saja urusanmu dengan kekasihmu," kata Ansell pergi begitu saja.
"Hei! Enggak tau trima kasih! Ucapin makasih kek, apa kek, kurang adab banget! Gitu mereka kok bisa ngefans, sih?"
Ansell dengar ocehan Kimaya, tetapi memilih diam dan membawa Avery masuk ke kamar yang dipesankan. Avery menggeliat dalam tidur ketika direbahkan, gadis kecil itu kembali tidur, sementara Ansell merebahkan diri di sofa dekat jendela, memejamkan matanya karena lelah. Ponselnya berdering dari dalam tas, terabaikan, sebab pemiliknya lebih suka dalam posisi sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Infinity ✓ (END)
Romansa21+ | Update sebisanya ∆Don't Copy My Story∆ Kimaya tak percaya lagi dengan cinta sejak bercerai dengan suaminya. Perekonomiannya amburadul dan terpaksa menyewakan lantai satu dan dua rumah peninggalan orang tuanya kepada seorang pengusaha kuliner...