Kimaya tak lagi terbangun dikarenakan terusik oleh suara kendaraan pribadi pengguna jalan di bawah rumah. Bahkan, sedikit bertanya-tanya ke manakah Avery akhir-akhir ini? Sebab, tak dikunjungi gadis kecil Ansell meski sudah seharian di rumah. Netra Kimaya tak menemukan kamar di loteng, atau tangga kayu yang terhubung dengan dapur dan ruang tamu kecil di bawah tempat tidurnya. Justru menemukan brankar, nakas dan ruangan yang bukan bagian rumahnya.
Kimaya meraba dirinya, tengah mengenakan pakaian piyama serba putih, ada sandal tipis lebih dari perkiraannya. Ia mengerutkan kening, tak mengetahui apa yang tengah terjadi, jika dirinya sedang sakit da dirawat di rumah sakit, mengapa tak diinfus atau paling tidak mengapa tampak aneh ruangan itu.
Kimaya turun dari brankar, tak memedulikan lantai dingin dan menusuk kulit, mendekati pintu yang terdapat kaca di bagian atasnya, yang bisa memperlihatkan suasana di dalam maupun di luar bergantian. Kenop pintu digerakkan, mengira jika benda itu akan mudah dibuka, nyatanya tidak. Kimaya perlu berjinjit untuk melihat ke luar lewat kaca di pintu, lorong yang sepi dan ada banyak kamar di sepanjang lorong.
Suara teriakan terdengar sayup-sayup, berganti dengan obrolan, lalu berubah menjadi suara roda yang menggelinding di lorong. Kimaya mengetuk pintu bersamaan dengan menggerakkan kenop pintu.
"Suster! Suster, tolong buka pintunya! Kenapa kok dikunci, sih, ya?" tanya Kimaya tak menyukai situasi yang terjadi.
Perawat yang mendorong troli makanan melirik ke arah pintu kamar Kimaya, terus berjalan dan mendekati meja kerja pos penjaga di lorong. Perawat itu mengabaikan panggilan Kimaya dan memberitakan pada suster penjaga perihal salah satu pasien tampak anarkis. Salah satu dari sekian uster yang berjaga hari ini, mendekati kamar Kimaya dengan senyum ramah.
"Suster! Tolong buka pintunya, kenapa aku ada di sini dan kenapa pula pintunya dikunci?"
"Selamat pagi, Mikay, apa kau mau sarapan sekarang?" tawar suster yang menggiring langkah Kimaya ke brankar.
"Mikay? Siapa Mikay? Aku Kimaya dan enggak tahu kenapa aku di sini?" tanya Kimaya.
Suster itu tetap tersenyum dan memperhatikan Kimaya, "Iya, karena kau berkata kalau kepalamu sering pusing, jadi kusuntikkan obat dulu ya." Suster itu menyuntikkan sesuatu pada lengan Kimaya tanpa sadar.
"Aku enggak pusing kok, Suster."
"Benarkah? Sekarang gimana? Apa masih pusing?"
"Apa yang suster lakuin, kepalaku makin berat dan pusing!" Kimaya hendak protes, tetapi tubuhnya sudah terlanjur lelah dan berat.
Kimaya menatap suster dengan tatapan garang yang dipaksakan, seperti singa yang kelelahan setelah sepanjang hari mengaum.
"Bagaimana sekarang? Apa kau mau tidur sekarang?" tawar suster itu ramah.
Netra Kimaya sayup meredup, obat yang sudah terlanjur merasuk dalam darah mengalir seluruh tubuh. Suster membenarkan posisi tidur pasiennya, meninggalkannya sendiri dalam ruangan terkunci. Suster kembali pada pekerjaannya yang tertunda di pos penjaga sembari menunggu kunjungan dokter.
Kimaya memaksa netranya untuk tetap tersadar, tetapi begitu sulit terasa. pemandangan terakhir yang dilihatnya adalah ruangan serba putih dan pintu menutup sempurna. Kimaya terlelap, tak berdaya.
Ini gila, kenapa aku ada di sini? Ini tempat apa, pun aku tak tahu. Juga apa yang sudah disuntikkan, kenapa dia menyuntikku? Apakah perilakuku sesulit itu?
Wanita itu tak lagi bergumam, menyerah pada kenyataan dirinya telah kalah telak. Ruangan kembali hening, suara-suara rengekan, tangisan maupun tawa berasal dari lorong lain mungkin saja terdengar, tetapi di lorong ini semuanya seolah terbungkam. Sebagian besar ruangan di sana sudah terisi, cukup mengherankan, mengapa pasien baru berdatangan meski bukan dari satu daerah saja, kebanyakan dari keluarga mempercayakan Rumah Sakit Jiwa Olaya karena adanya Dokter Silas dan Egyy, dua bersaudara itu lebih mumpuni memajukan kredibilitas RSJO, tetapi Dokter Silas mulai jarang menangani pasien dikarenakan pekerjaan sampingannya menyita waktu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Infinity ✓ (END)
Romance21+ | Update sebisanya ∆Don't Copy My Story∆ Kimaya tak percaya lagi dengan cinta sejak bercerai dengan suaminya. Perekonomiannya amburadul dan terpaksa menyewakan lantai satu dan dua rumah peninggalan orang tuanya kepada seorang pengusaha kuliner...