Rencana Dadakan 2-9

436 97 14
                                    


Nampan yang dibawa Kimaya mendarat di meja dengan baik. Tangan mungil Avery menyambar segera cup minuman ukuran sedang yang begitu segar dan menggiurkan, jangan lupakan setumpuk roti lapis di sebelahnya, menunggu antrian masuk ke dalam lambung Avery, mengindahkan tatapan dua pasang mata wanita dewasa di depannya.

"Apa otak papanya bergeser ke Yunani?"

"Kurasa terjatuh terlindas truk sampah."

"Oh, God! Bagaimana bisa seorang manusia membiarkan manusia hasil skidipapap seenak jidat, huh?"

"Bagaimana kalau kita temui papanya dan gampar kepalanya? Tongkat baseball empuk kurasa."

"Atau racun saja dia dengan omelet sianida?"

Gadis kecil itu mendengar semua kata-kata buruk yang sudah dipelankan, tetapi telinganya masih saja mendengarnya. Avery abai, makanan di depan mata lebih menggoda daripada menanggapi ocehan para wanita dewasa.

"Bagaimana bisa kita liburan bawa anak kecil?" tanya Wenda sambil melipat tangannya di dada.

"Gagal total rencana kita."

"Aku enggak mungkin membawanya pulang."

"Papanya gila?"

"Bukan hanya itu, waktu kita bakal terkuras habis dan ketinggalan pesawat."

Queen menengok arlojinya, benar! Jika mereka mengantar Avery pulang, kemungkinan besar akan tertinggal jadwal penerbangan, gagal liburan dan percuma, sebab papa Avery sudah mengabaikan gadis kecil itu. Avery selesai makan diakhiri dengan sendawa, mengeluarkan kaleng bekas permen mint dan menaruhnya di meja. Ketiga wanita dewasa itu menatap kaleng tersebut, kemudian berpindah ke Avery.

"Uang Avery banyak kok, Bibi. Itu buat bayar ini sama ikut, Bibi." Avery menunjuk dan mendorong sedikit kaleng bekas permen berisi uang entah dengan jumlah berapa.

"Bukan masalah itu gadis kecil, siapa tadi namanya?" tanya Wenda menahan amarah.

"Avery." Avery menyebutkan namanya.

"Ya, Avery. Bagaimana bisa papamu membiarkanmu pergi dengan kami bertiga yang bukan saudaramu, keluargamu dan hanya kebetulan tetanggamu? Bagaimana mamamu bisa tidur nyenyak sementara putrinya pergi jauh ke luar negri, huh?"

Queen mengelus bahu Wenda, menyuruhnya bersabar. "Begini, ya, anak kecil. Kami ini mau liburan, buat seneng-seneng bukan ngasuh kamu, sementara papa mamamu bisa skidipapap melenceng ke mana-mana? Astaga ya Tuhan, beneran mereka pasangan gay? Trus ngapain punya anak?"

"Avery tahu kok papa itu orang sibuk, tapi papa perhatian, sedikiiit," kata Avery sambil tetap tersenyum memperagakan ukuran kecil melalui tangannya.

"Oh, Tuhan. Bagaimana ini?" tanya Kimaya. "aku balik aja, ya. Ajak dia balik dan kalian berdua aja yang pergi."

Queen dan Wenda menoleh bersamaan, "Enggak! Kita harus jadi liburan!"

Kekompakan mereka sedikit menimbulkan kegaduhan, tetapi netral kembali karena Kimaya duduk lagi. Setelah melewati wawancara dadakan, rencana dadakan dilakukan karena kehadiran Avery. Kimaya memasukkan kaleng bekas permen di tas Avery dan memesankan tiket menggunakan uang pribadinya. Beruntungnya, waktu mereka masih banyak, karena Wenda selalu meminta waktu 2 jam sebelum penerbangan untuk memeriksa apa yang mereka bawa sebelum benar-benar berangkat.

Avery mendapatkan tempat duduk terpisah dari ketiganya, karena khawatir ini adalah penerbangan pertama Avery, maka Kimaya bersusah payah menego seorang wanita tua berkulit hitam yang berambut pendek. Wanita itu terenyuh dengan cerita Avery yang tak tak dipedulikan papanya, pun bersedia bertukar tempat duduk. Kimaya duduk di sisi Avery, sementara ada pria dewasa di sisi lain Avery yang sedari tadi memerhatikan mereka.

"Aku rasa kau bukan mamanya, benar?" tanya pria yang memakai kemeja biru dongker polos diiringi senyum tipis.

"Maaf, Pak. Bukan urusan Anda," kata Kimaya membalas senyuman pria asing itu.

"Kau seharusnya berakting lebih menyakinkan, aku hanya mau bilang begitu. Jika saja ibu tadi tidak memberikanmu kursi, kau bisa bertukar denganku dengan satu syarat."

"Sekarang tawaranmy tidak berlaku lagi, Pak. Jadi, diamlah. Please," kata Kimaya masih berusaha sopan.

Avery hanya terkekeh dan tak lama memegang tangan Kimaya, janda cantik itu membalas erat tangan Avery, berkata yang indah-indah agar tak panik. Kimaya sedikit terbantu sebab pria asing di sebelah Avery ikut membantu dukungannya.

"Siapa namamu?" tanya pria di sisi Avery.

"Avery," jawab Avery singkat sambil sesekali memejamkan mata.

"Kau tidak bertanya siapa namaku?"

"Kurasa itu bukan hal penting saat seperti ini, Pak!" seru Kimaya.

"Aku hanya mengalihkan perhatiannya saja, tenang saja mama palsu." Pria itu membantah Kimaya dengan santai. "Namaku Owen, nenekku yang memberikan nama itu, bagus kan?"

"Yeah, kurasa!" seru Avery saat ada guncangan, bahkan Avery juga memegang tangan Owen.

"Hei, hei, Sayang. Ini sudah berakhir kok, tuh kan udah enggak berguncang," kata Kimaya mengusap-usap punggung tangan Avery.

Avery membuka mata, semua penumpang tampak sudah tenang, mereka sudah mulai berbicara apapun itu, agar kelegaan makin terasa di hati mereka, termasuk dirinya. Avery sudah mengendurkan genggamannya pada Owen, mulai berkomentar soal nama yang disebutkan tadi adalah hasil pemberian neneknya, karena kedua orang tua Owen sudah tiada saat dirinya lahir.

Kimaya menawari kantung muntah jika Avery ingin muntah, tetapi gadis kecil itu memilih tidur dan tetap digenggam tangannya. Owen tersenyum cenderung menertawakan sikap Kimaya pada Avery.

"Ada yang salah, Pak? Saya kok tidak terlalu suka ya, dengan senyum, Bapak?"

Owen terkekeh pelan sambil melihat ke depan, "Aku cukup takjub dengan rasa kepedulianmu pada anak kecil, yang notabene bukan keluargamu. Apa ini adalah sebuah intrik untuk mendekati papanya?"

"Mister Owen terhormat, mohon jaga bicara Anda. Mohon diperhatikan baik-baik apa yang saya jelaskan berikut, papanya merupakan pasangan gay dan saya tidak ada niatan jadi pahlawan kesiangan menyadarkannya. Terima kasih." Kimaya memelankan suaranya pada kalimat 'gay'.

Owen terkekeh mendengar nada bicara Kimaya. "Kau sungguh sangat menggemaskan, bagaimana bisa papanya tidak tergoda denganmu? Aku saja tergoda."

Kimaya menoleh dengan mata melotot tak percaya. "Jangan kurang ajar, Mistee Owen!"

Owen mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah, menyumpal telinganya dengan headphone, menyandarkan kepala di kursi dan memejamkan mata, mencoba mengabaikan suara omelan Kimaya yang tak seberapa meninggi meski dengan kata-kata menyindirnya. Kimaya sungguh berharap bisa segera sampai Indonesia dan menjauh dari pria asing sok perhatian bernama Owen itu,  sebab pria itu asal memvonisnya aneh-aneh.

Kimaya segera membawa Avery pergi begitu pesawat selesai mendarat, hingga kedua bestie-nya bertanya-tanya, mengapa Kimaya begitu terburu-buru keluar dari kabin. Owen tersenyum melihat sosok Kimaya yang lebih dulu pergi.

"Semoga kita bertemu lagi," doa Owen.

Queen dan Wenda hanya mengangkat bahu akan sikap Kimaya, tak tahu menahu apa yang sudah terjadi di bangku belakang bersama Avery. Avery hanya bercerita jika Kimaya bertemu dengan lelaki dewasa bernama Owen yang ramah dan baik, tetapi langsung dibantah Kimaya. Menurut Kimaya, Owen bukanlah lelaki baik-baik dan merupakan pria penggoda wanita. Queen dan Wenda penasaran bagaimana rupa Owen yang sudah membuat bestie mereka mengomel sepanjang perjalanan. Sungguh rencana dadakan yang mendadak.









Infinity ✓ (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang