Perhatian-18

335 84 13
                                    

Alur : maju-mundur

Suara ketukan mengalihkan perhatian Ansell dari layar ponsel, beranjak ke pintu dan mencari tahu siapa di baliknya.  Ia membukakan pintu untuk tamunya yang membawa anak kecil di punggung.

"Lama bener, sih, bukain pintunya? Berat tahu!" oceh Kimaya yang menggendong Avery tidur di punggungnya.

Ansell yang masih di pintu menatap Kimaya masuk dan mengomel pun akan bereaksi, tetapi hal yang tak diduganya terjadi. Seorang gadis bergaun warna peach datang langsung mencium pipi serta memeluknya erat.

"Kenapa enggak bilang kalau di sini? 'kan aku bisa mampir."

"Kau?" tanya Ansell bingung.

"Iya, aku kebetulan ada di sini, ikut papa ada perlu, dari berita terbarumu juga semua orang bisa tahu."

"Berita? Aku tidak menyuruhmu datang meski aku di ujung dunia sekalipun."

"Jangan begitu padaku, Ansell. Aku ini kekasihmu," kata si Wanita itu memeluk manja lengan Ansell.

Gadis yang tampak lebih muda usianya itu menoleh ke arah Kimaya yang selesai menidurkan Avery. Kimaya tak memedulikan dua insan yang entah melakukan hal apa di depan pintu, punggungnya terasa mau patah karena menggendong Avery ternyata berat juga.

"Dia sudah tidur, aku balik dulu," kata Kimaya pamit melewati Ansell dan gadis yang baru saja datang.

"Ya." Ansell menjawab lirih, netranya masih menatap punggung Kimaya yang menjauh, sementara gadis di depannya menutup pintu kamar.

Gadis itu mendongak menatap Ansell sembari tersenyum. "Kenapa enggak pesen kamar yang ada sekatnya? Kan kita bisa berduaan."

"Pa," rengek Avery.

"Ada apa?" tanya Ansell.

"Baru diomongin, ya kan?"

"Kaki Avery sakit," rengek Avery membuka matanya.

"Merepotkan," keluh Ansell mendekati Avery.

"Panggil aja tukang pijet hotel, ngapain musti kau yang mijit." Gadis itu melarang Ansell memperhatikan Avery.

"Aku maunya dipijit Papa, enggak mau yang lain. Atau panggil kakek aja," kata Avery makin manja.

"Enggak bisa, mana ada kakek ikut."

Ansell mulanya enggan menuruti permintaan Avery, tetapi akhirnya duduk di tepi ranjang dan memijat kaki putrinya, sedangkan Amelia berdiri sembari membuang muka, rencana bisa bermesraan dengan Ansell hilang seketika. Avery menjulurkan lidahnya pada Amelia karena berhasil mendapatkan perhatian Ansell daripada dirinya. Amelia yang jelas diabaikan Ansell pun pergi akhirnya tanpa Ansell usir. Pria satu putri itu entah mengapa cukup bersyukur dengan adanya Avery, seolah menjaganya dari wanita-wanita pengganggu ketenangan hidupnya, semacam Amelia.

"Avery ngantuk, mau tidur ya, Papa tidur juga ya." Detik itu juga Avery terlelap.

Ansell merasa tangannya lelah, tetapi juga heran mengapa bisa menuruti permintaan Avery. Permintaan gadis kecil itu bukanlah mengurangi isi rekeningnya, melainkan tindakan tampak sepele, memijat kakinya yang kecapekan ikut Kimaya keliling mall. Ponsel Ansell berdering, nama kontak kakeknya tertera di layar meminta video call.

"Kenapa lama sekali hubungi kakekmu? Menunggu kakekmu yang menelepon?"

"Avery yang sibuk seharian sama dia, percuma juga Kakek telepon."

"Sekarang di mana Avery?"

Ansell memilih kamera belakang, memperlihatkan Avery terlelap dengan posisi ternyaman versinya, memeluk guling dan melingkarkan tubuh. Wajah kakek Ansell tampak melembut, tak ada guratan kemarahan, beban berat dan sebagainya.

"Gadis kecilnya kakek, dia tampak kelelahan, pijat kakinya, balur punggungnya pakai minyak hangat, kau bawa kan?"

"Enggak tahu."

"Harus tahu, kau itu papanya! Coba cek tasnya, adakah minyak hangat di sana, harusnya ada atau kau benar-benar tidak memperhatikannya?" omel kakek Ansell di seberang telepon.

Ansell menggerutu sebenaenya, tetapi tak ditunjukkan pada kakek karena jelas akan berbuntut panjang omelannya. Ia membuka tas ransel bulu Avery, ada beberapa jepit rambut, dompet kecil, antiseptic ukuran lima belas mililiter, dua permen cokelat dan minyak hangat yang dimaksud kakenya. Ansell merasa tak pernah memberi Avery barang-barang itu, ia pikir pasti Stewart yang melakukannya.

"Nah, itu digosokkan ke punggungnya, tarik ke atas sedikit dan balurkan pelan-pelan. Harusnya hal seperti ini dilakukan mamanya, sampai kapan kau menyembunyikan wanita itu, huh?" oceh kakek di seberang.

"Aku terlalu lelah untuk berdebat, Kek."

"Tapi bertemu dengan gadis itu bisa kan?" tanya kakek di seberang.

Ansell seketika merasa diawasi, karena kakeknya bisa tahu jika Amelia bersamanya tadi. "Kakek ngomong apa, sih?"

"Kakek senang dengan berita tentangmu kali ini, teruskan, ya."

"Berita? Berita apa?" tanya Ansell tak paham.

"Kakek lega udah lihat Avery dengamu baik-baik saja, sudah istirahatlah."

Sambungan telepon video berakhir. Ansell terdiam, menaruh ponselnya di meja dekat ranjang dan menyelimuti Avery. Suara ketukan jendela yang terkena rinai hujan mengalihkan perhatiannya, pun ingin ikut terlelap bersama Avery. Hampir saja ia terlonjak kaget mendengar dering ponselnya, nomor Stewart tertera di layar, pria itu mengiriminya sebuah video. Ansell mengerutkan keningnya melihat video apa yang dikirim Stewart, merasa familier dengan pria di dalam video, ternyata dirinya.

Stewart juga menberi tautan link salah satu media sosial di mana akun Ansell ditag, ada banyak sekali komentar positif perihal tindakannya, tetapi banyak juga komentar negatif mengatakan jika itu hanyalah setingan belaka agar nama baiknya di dunia entertainment berubah bagus kembali. Ansell enggan berkomentar apapun, memilih memejamkan mata dan membiarkan semua urusan dunia apa adanya. Netra Ansell memejam, membuka beberapa kali kemudian karena disenggol oleh tingkah Avery.

Telinga Ansell tak lagi mendengar suara rinai hujan mengetuk-ketuk jendela kamar hotel, tetapi hening, benar-benar hening tak ada suara apapun masuk ke gendang telinga. Mulanya, Ansell mengabaikan karena berpikir mungkin dikarenakan lelah setelah dikejar-kejar fans Indonesia, pun tak merisaukan. Akan tetapi, Ansell membuka matanya demi memuaskan hasrat keingintahuannya. Netranya mengerjab, kemudian memelihat sekeliling bukanlah kamar hotel yang ia tiduri bersama Avery.

"Avery?" Ansell mencari sosok gadis kecil yang tidur di sisi lain ranjang.

Ranjang yang didudukinya tidaklah besar, bahkan hanya cukup ditiduri oleh satu orang saja. Tak ada sosok lain selain dirinya, ya, hanya ada Ansell sendirian di ruangan yang hanya punya satu lampu penerangan. Jendela besar di atas ranjang juga jauh dari jangkauan, serta ukurannya hanya selebar sepuluh senti. Ansell nyalang mencari sosok Avery dan di mana mereka saat ini. Ansell benar-benar ingat jika dirinya berada di kamar hotel, tidur di kasur empuk, selimut tebal dan AC wangi aromaterapi. Bukan di tempat ini, semuanya terasa asing, bahkan untuk sekadar adegan film sekalipun.

Pintu berderit terbuka, seorang wanita memakai pakaian suster membawa nampan berisi makanan yang dilapisi pelindung. Ansell makin bingung, betapa begitu mendalaminya seseorang memerankan peran sampai dirinya tak menyadari kapan mulai beradegan film, lantas film apa yang tengah dibintanginya? Ia merasa bingung.

"Harusnya kau berbaring saja, kepalamu masih sakit 'kan?" Suster itu membimbing Ansell berbaring.

"Jawab aku, ini di mana?" tanya Ansell.

"Rumah Sakit Jiwa Olaya."

Ansell tertawa mengejek, "Jangan bercanda. Kau siapa? Aku Ansell, artis paling fenomenal dan banyak sensasi seperti yang mereka bilang. Aku sudah berakting bagus kan? Harusnya aku dengar suara 'cut' sekarang."

Suster itu hanya tersenyum dan seketika merasa lengan Ansell terasa sakit, obat yang entah untuk apa merasuk begitu saja tanpa permisi, menyeruak menyebarkan efek yang impulsif. Ansell tumbang di ranjang, suster membenarkan posisi tubuh Ansell dan menyelimutinya sampai dada dan pergi.






Infinity ✓ (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang