"Papa! Papa bangun, bantu Avery!"Suara itu memenuhi pendengaran Ansell, tetapi seperti suara teriakan yang tersapu angin, atau seperti kau berada di dalam air kemudian ada yang meneriakimu dari permukaan, ya, seperti itu yang didengar Ansell kali ini. Netra cokelat tua itu mengerjab, memejam dengan cepat diiringi alis menaut. Kali ini, tubuhnya terasa mendapatkan sentuhan, bahkan goyangan sembari suara yang renyah terdengar bising di telinga.
"Papa, ada Kakek, ayo bangun. Papa ... banguuun!" Kali ini suaranya meninggi dan terdengar dekat dengan telinga, hingga membuat Ansell mengejang.
Ansell bangun tergagap, matanya samar mendapatkan gambaran berbeda. Antara kamar yang serba putih dan ranjang berselimut tipis, sisi lainnya adalah kamar yang hangat dan beraroma terapi. Ansell bangun dengan posisi kaget, sebab netranya menatap kamar tampak familier. Ruangan outfit miliknya menyala terang, ranjang ukuran sedang berseprai abu-abu gelap, jendela miliknya, dan tentu saja Avery menatapnya aneh.
"Papa kenapa, sih? Kok kaget gitu? Di luar ada kakek, Paman Stewart suruh bangunin Papa, sulit sekali bangun!" omel Avery menarik tangan Ansell.
Ansell masih di tempat, dalam posisi yang sama hanya saja seperti orang linglung. "Apa aku tadi mimpi?"
"Papa itu jago kalau urusan tidur, sampe enggak bangun. Ayo, keluar dipanggil Kakek!" seru Avery menarik tubuh Ansell turun dari ranjang.
Ansell menarik tangannya dari genggaman Avery, telunjuknya menyentuh kepala gadis kecil di depannya beberapa kali, hampir saja mencubitnya jika Avery tak menjaga jarak. "Kau itu nyata 'kan?"
"Papa kenapa, sih? Kok jadi aneh?"
"Aku ada di ruangan serba putih, kecil dan dingin. Bukan gini ruangannya, trus ada wanita datang bawa nampan makanan, disuntik dan ...."
"Dan?" tanya Avery meminta kelanjutan.
Ansell terdiam mematung, merasa sadar sesadar-sadarnya, bahwa ia tak ingat bagaimana bentuk perjalanan pulang kembali. Sama sekali tidak ingat, tiba-tiba dirinya sudah ada di kamar pribadinya.
"Kapan kita pulang ke sini?" tanya Ansell.
"Aku menunggu kalian berdua di luar, sementara kalian di sini mengobrol sendiri." Pria tua berkacamata itu masuk dan mengomel, Avery menggandeng tangannya dan mengajaknya pergi tanpa ada kata-kata dari Ansell.
"Papa, ayo sini!"
Ansell mematung, mengerjab dan bahkan sampai mengucek matanya, berharap ini semua bukanlah delusi. Penampakan di sekitar masih sama meski sudah ketiga kalinya ia melakukan hal yang sama. Ansell akhirnya beranjak dari kamar dan menengok ke luar kamar perlahan, berjaga-jaga jika delusinya berubah. Nyatanya tidak. Stewart menata meja makan yang dipenuhi berbagai macam lauk, Avery tertawa riang sambil mengobrol dengan dua pria dewasa di depannya.
"Kenapa masih di situ? Enggak laper?" tanya Stewart menoleh pada Ansell.
"Jelaskan padaku, kapan aku dan Avery pulang? Naik apa dan bagaimana bisa aku tiba-tiba ada di kamar, di sini, rumah ini?" tanya Ansell memberondongi Stewart.
"Apa kau terbentur ranjang? Tembok? Lemari?"
"Apa?"
"Kau pulang setelah minta kujemput, kau mabuk-mabukan dan membiarkan Avery di kamar hotel sendirian. Bibi di atas mengomelimu tak henti-hentinya. Sudah tahu payah dalam hal minum-meminum, masih aja ngotot!"
"Apa?"
"Hmmm, dengarkan Kimaya dan Stewart. Mereka itu benar-benar kau susahkan. Terlebih kakekmu ini, masih hidup belum mati dan susah kaususahkan ribuan kali karena tingkahmu. Sudah, cepat makan sini!" Pria tua itu mengomeli Ansell sambil menudingnya menggunakan sumpit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Infinity ✓ (END)
Romance21+ | Update sebisanya ∆Don't Copy My Story∆ Kimaya tak percaya lagi dengan cinta sejak bercerai dengan suaminya. Perekonomiannya amburadul dan terpaksa menyewakan lantai satu dan dua rumah peninggalan orang tuanya kepada seorang pengusaha kuliner...