Langit belumlah gelap, hanya mendung masih menggantung memenuhi sebagian besar kota selepas hujan siang tadi. Wanita yang memakai jas sneli menaikkan penyangga kacamatanya sekali, masih sibuk membaca buku setebal sepuluh senti. Buku novel fantasi dari salah satu author terkenal tanah air, hadiah dari sepupunya yang ada di negri seberang. Suara sepatu bertemu dengan lantai menggema, berhenti sejenak beriringan dengan pintu yang terayun terbuka.
"Dokter belum mau pulang? Hujannya sudah reda," kata wanita bernada suara renyah.
"Sebentar lagi, mau ngecek keadaan dia dulu," kata wanita cantik berkacamata itu.
"Dia mungkin tengah istirahat, Dok. Dia sudah saya periksa dan menginjeksikan obat sesuai yang Dokter resepkan. Tidak ada yang dikhawatirkan lagi, Dok. Hanya saja masih diikat."
Wanita cantik berpakaian jas putih itu mengangguk, "Iya, nanti akan kuperiksa lagi sebelum pulang. Kau bisa pulang lebih dulu, pasti putrimu menunggu dijemput mamanya."
"Baiklah, Dok. Terima kasih."
"Ya."
Dokter wanita itu bangkit dari kursi kerjanya, sembari menutup buku novel fantasi dan memasukkannya ke dalam laci. Ia meraih tas kerja dan beranjak dari meja kerjanya. Ia memang ingin menengok keadaan salah satu pasiennya, pasien lelaki yang membutuhkan sedikit kesabaran bagi para perawat maupun suster.
Ia merogo ponsel yang ada di kantung jas kanannya, memeriksa pesan di aplikasi perpesanan instan, mengetik balasan sebentar, lalu melihat ruangan berpintu warna putih dan bernomor sebelas. Perawat bertubuh besar daripada dirinya menghampiri sembari tersenyum ramah.
"Suster Indi berkata kalau Dokter mau menengoknya?"
"Ya," kata dokter wanita itu mengangkat tangan, menempelkan sidik jarinya di pintu untuk dipindai, suara kunci terbuka disusul dengan pintu tergeser.
Dokter wanita itu masuk diekori oleh perawat, perlahan mendekati brankar tunggal di ruangan, makan malam sudah diantar, masih terbungkus rapi di atas nakas dekat ranjang. Pria itu hanya memejamkan mata, mencari celah dan lengah dokter maupun perawa untuk memberontak lagi, seperti yang dilakukannya kemarin-kemarin.
"Bagaimana keadaanmu? Merasa baikkan sekarang?"
Sapaan itu terdengar dekat dan jelas di telinga pria yang sebagian besar anggota geraknya dibatasi. Seolah dilarang menyuarakan protesnya. Lelaki itu mengerjab, lagi-lagi merasa kesal karena merasa mimpinya terjadi begitu aneh dan sialnya tampak nyata.
"Aku di mana?" tanya lelaki berwajah tampan itu, bahkan terlalu tampan untuk seorang pasien rumah sakit jiwa.
"Kau masih ada di sii, Olaya."
"Olaya itu apa? Apa sebuah daerah yang terpencil untuk lokasi syuting? Dan, hei, bisakah ini tidak terlalu kencang mengikatnya? Terasa sakit sekali,sungguh." Pria itu menggerakkan tangannya yang diikat menyilang ke dada.
"Benarkah? nanti perawat Alex akan sedikit mengendurkannya, asalkan kau tidak menyerang siapapun lagi," kata dokter wanita itu ramah.
Pria itu tertawa melihat seksama wajah dokter wanita di depannya. Jika tadi, ia masih baru sadar dan tiba-tiba merasa sudah berada di sini, sekarang ia menyadari jika merasa dokter wanita itu merupakan sosok orang yang dikenalnya.
"Please, hentikan ini Kimaya, aku tidak suka ini semua. Ayolah, lepaskan ini juga sekarang," pinta pria itu sambil tertawa.
Dokter wanita itu ikut tertawa, bahkan sambil mengangguk menanggapi perkataan si Lelaki. "Kali ini aku sebagai apa dalam duniamu?"
Dokter wanita itu tak segera mendapatkan jawaban, melainkan canda tawa beberapa saat. Pasien lelaki itu menatap dokter di depannya dengan serius usai tawanya reda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Infinity ✓ (END)
Romance21+ | Update sebisanya ∆Don't Copy My Story∆ Kimaya tak percaya lagi dengan cinta sejak bercerai dengan suaminya. Perekonomiannya amburadul dan terpaksa menyewakan lantai satu dan dua rumah peninggalan orang tuanya kepada seorang pengusaha kuliner...