Terbangun-29

302 74 13
                                    

Wajah Kimaya mendadak suram ketika mendengar hilangnya Avery. Gadis kecil Ansell menghilang ketika ada di studio foto yang menurut para orang yang tahu itu tak mungkin terjadi jika taka ada orang dalam yang berperan, tetapi siapa pelakunya itu yang masih misteri. Orang yang paling kehilangan justru adalah pria tua bernama Darwin-kakek Avery-sementara papanya justru menghilang entah ke mana?

Darwin tak bisa menahan emosinya ketika diberi tahu jika Avery menghilang, hampir saja menuruti emosinya melaporkan hal ini pada kepolisian untuk mencari dalangnya. Ia tentu saja marah besar pada Ansell, bahkan bersumpah jika Avery nanti ditemukan akan mengasuhnya sendiri daripada hidup bersama papanya,

Pria tua itu termenung di sofa dekat jendela, menatap twilight sembari menghela napasnya beberapa kali. Pelayan pria beruban mendekatinya sembari berkata pelan.

"Pak, makanannya sudah dingin, apa perlu saya hangatkan?"

"Aku memikirkan Avery, anak sekecil sendirian di luar sana, tanpa uang, makanan dan mungkin tempat yang hangat di cuaca basah seperti ini, Amo,"

"Saya yakin, jika Nona Avery baik-baik saja di sana, sedang dijaga oleh orang yang baik," bujuk Amo.

"Aku enggak habis pikir, bagaimana bisa dia pergi dengan tenang tak memikirkan nasib anaknya, Avery adalah anaknya, darah dagingnya, rasanya aku mau mati saja enggan merasakan perasaan ini," kata Darwin dengan perasaan pedih.

Amo ikut mendesah, memanglah Ansell tampak tak begitu memerhatikan buah hatinya. Seorang anak tidak hanya diberi makan untuk bisa hidup, tetapi pemahaman tentang hidup yang baik itu berasal dari orang tuanya dan Ansell belum melakukannya dengan baik.

"Makanannya akan saya hangatkan sebentar, saya akan segera kembali,"

Darwin hanya diam saja, enggan menjawab jik Amo sudah memutuskan yang terbaik untuknya. Pikiran Darwin dipenuhi dengan bayangan bagaimana keadaan Avery sekarang, apakah kelaparan? Ataukah kedinginan dan kehausan? Juga bagaimana jika Avery mengalami pelecehan seksual? Bayangan-bayangan buruk itu menghampiri tak mau pergi.

Di tempat lain, kaca lebar itu menampilkan wajah Ansell yang bak batu pualam cantik, tetapi sinar matanya mengatakan lain. Ia memejamkan mata, membiarkan air yang membasuh wajahnya mengikuti grafitasi. Wanita berpakaian minim bergelayut manja di bahu Ansell, jemari lentiknya mengelus rahang pria, menggoda untuk melakukan hal-hal yang bisa dilakukan dua insan berbeda jenis kelamin.

"Udah jangan dipikirin, kan udah suruh orang buat cari dia, ya udh donk. Ayo, kita seneng-seneng lagi," bujuk si Wanita.

Ansell bergerak keluar dari toilet, berbaur kembali dengan pengunjung club malam lainnya, mengindahkan ancaman dari kakeknya jika sampai Avery tidak ditemukan atau mengalami hal-hal buruk, Ansell bahkan seperti orang yang tidak mengalami masalah pelik, bergerak seolah dia bukanlah figur entertainment yang selalu disorot kamera wartawan.

Ansell keluar dari club malam sembari tertawa riang dan memeluk wanita seksi di sisinya. Akantetapi, belum juga jauh dari pintu masuk-keluar club, seseorang menampar pipinya hingga wajahnya menunduk ke samping, belum lagi sebuah pukulan mendarat empuk di perutnya hingga Ansell meringis kesakitan.

"Apa yang kaulakukan, huh!!!" teriak Ansell pada wanita yang baru datang secara tiba-tiba memukulnya.

"Hei, apa yang kaulakukan, sih!" teriak si Wamita.

"Itu untuk mengembalikan otakku ke tempat semula! Bagaimana bisa seorang papa ada di club malam bersama wanita murahan sementara anaknya di luar sana sendirian dan mungkin tengah kelaparan!" teriak wanita yang rambutnya dicepol asal-asalan,

"Dia bukanlah anakmu, jadi berhenti berlagak sok peduli dengannya!"

"Harusnya kau itu ngaca! Apa kau tahu berapa ukuran bajunya? Ukuran sepatunya? Apa makanan kesukaannya? Apa kau pernah membacakan cerita dongeng untuknya sebelum tidur? Apa pernah, huh!" teriak Kimaya panjang lebar. "Kau itu papa kandungnya atau papa tiri, sih, bangsat sekali!"

Ansell meredam kesakitannya, "Berhenti mengurus urusanku, Kimaya! Urus saja urusanmu sendiri karena kau bukan ibunya!"

"Meski aku bukan ibunya, tapi aku peduli padanya, jika tahu dia akan hilang jika bersamamu, akan kubawa dia pergi jauh darimu daripada kau abai padanya sampai dia bisa hilang!"

Ansell merengkuh kasar rahang Kimaya, hampir saja meremasnya kesal, tetapi memilih tak bergerak lagi, hingga Kimaya memilih melepaskan diri dari sentuhan kasar Ansell sembari mengusap air mata kekesalannya. Mantan istri Daffin itu meninggalkan papa Avery yang masih di sana, diperhatikan wanita di depan club malam.

"Kau enggak apa, Ans? Kita ke klinik gimana?" tawar si Wanita.

Ansell yang masih menatap kepergian Kimaya, pun memilih menghempaskan tangan si Wanita dan meninggalkan tempat sendirian. Kimaya dan Ansell memang berada di dalam mobil, tetapi kendaraan berbeda pemilik. Keduanya sama-sama memikirkan Avery, tetapi Ansell memilih tidak menunjukkannya seperti Kimaya dan juga Ansell tidak benar-benar abai pada putrinya, setidaknya ia pernah membacakan dongeng Putri Salju untuk Avery sebelum tidur di malam-malam yang tak diketahui Kimaya.

Kimaya keluar dari taksi dengan perasaan campur aduk, dirinya benar ada di gedung mall, tetapi bukan untuk bersenang-senang, melainkan berencana menemui klien justru melihat sosok yang harusnya bisa menjaga Avery dengan baik. Wanita dewasa yang berprofesi menjadi ghost writer itu perlahan menaiki tangga, sesampainya di rooftop, tak segera masuk, melainkan duduk di gazebo halaman sembari menatap langit yang mendung tak berbintang, sebanding terbalik dengan hatinya sekarang, terasa kosong.

Ia mengabaikan panggilan telepon dari dua sahabatnya secara bergantian menelepon. Rebahan di gazebo yang hangat jauh lebih baik dan nyaman untuk raganya saat ini. Sementara di tempat lain, Ansell masuk ke dalam rumah melewati pintu utama di lantai satu dengan angkuh. Ia tak segan menutup pintu kamar hingga berdebum, mood-nya sekarang tengah tak baik dan Steward membiarkannya sendirian sampai beberapa saat ke depan. Lelaki dewasa itu masih merasakan sakit di perutnya akibat tinjuan tiba-tiba itu, belum lagi pada pipinya yang ditampar cukup kencang.

Ia duduk bersandar di sofa besar dekat jendela, hujan turun dengan deras tanpa guntur, Di iringi oleh rinainya, tangis Ansell keluar tanpa diketahui siapapun. Steward membuka pintu kamar Ansell perlahan,
hendak mengajaknya makan malam, tetapi terkejut melihat pria itu menjambak rambutnya sendiri dalam tangis yang teredam. Steward menutup kembali pintu kamar Ansell, kembali membiarkan pria itu dengan dunianya sendiri saat ini. Kehilangan seorang anak, hanya akan bisa dimengerti oleh orang yang benar-benar peduli. Di rooftop, Kimaya pun melakukan hal yang sama, seolah langit juga merasakan kesedihan mereka.

Kimaya masih bertahan di gazebo selama hujan, tidur melengkung dalam derai tangis. Di sebuah tempat asing yang jauh dari jangkauan dan perkiraan keluarga Avery, gadis kecil Ansell itu terbangun karena suara guntur menyambar. Suara berisik dan aroma yang lezat menelisik indra penciumannya. Ia tak tahu bagaimana dirinya bisa di tempat ini, yang jelas seseorang telah menculiknya.


 Ia tak tahu bagaimana dirinya bisa di tempat ini, yang jelas seseorang telah menculiknya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




Infinity ✓ (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang