Sejak kecil, Ansell sudah biasa diperintah dan diatur, mulai dari urusan kecil sampai besar, dari apa yang disukainya hingga tak disukainya. Ansell kadang ingin melarikan diri atau menjadi orang lain saja agar berhenti mengurusi semua hal di dunia ini. Dunia entertainment adalah dunia kesayangannya, sementara dunia bisnis yang diturunkan kakeknya adalah dunia lain yang harus dijaga dan dikembangkan. Dua dunia ada di dalam genggaman Ansell, beserta sebab akibatnya.
Ansell tengah dirias untuk pemotretan sponsor pakaian, tetapi pikirannya melalang buana pada obrolan terakhirnya dengan sang Kakek, Darwin. Pria tua itu sudah merangkap menjadi kakek sekaligus orang tua Ansell sejak kecil, orang tua yang paling mengerti kepribadiannya. Ansell memegang tangan MUA masih berkutat di wajahnya.
"Sudah," pinta Ansell.
MUA pria memakai kemeja bunga-bunga warna cerah itu diam kala melihat tatapan Ansell, tahu benar artinya. "Baiklah, kalau kurang panggil saja nanti."
Pria kemayu itu menaruh make up yang dipegangnya, sementara Stewart menoleh setelah berlama-lama berkutat dengan ponselnya.
"Mau kupesankan tiketnya sekarang?" tanya Stewart.
Ansell menghela napasnya sebelum bangkit, "Jangan memulai."
Stewart terbungkam, mood Ansell sudah buruk sejak percakapannya dengan Kakek Darwin terakhir kali, justru Stewart-lah yang ditanyai tiga kali sehari apakah Ansell sudah menyusul Avery atau belum? Fashion Stylist mengarahkan gaya yang diinginkan, tetapi raut wajah ditujukkan Ansell tak sesuai konsep mereka, pun memprotes. Mereka menoleh ke arah Stewart, meminta tolong agar bicara dengan Ansell agar pekerjaan mereka lancar.
"Jangan bicara apapun!" seru Ansell sebelum meneguk minuman.
"Kau mau mendengarkanku atau tidak, yang jelas aku tetap akan mengatakannya. Pekerjaanmu ini bukan hanya kau yang membutuhkan, mereka juga, jika tidak lancar, rekening mereka tersendat, kau tidak tahu perut siapa saja yang menunggu gajinya, belum kebutuhan lain. Jadi, bekerja samalah dengan baik, lancarkan urusan mereka." Stewart berkata intonasi santai, tetapi mengena.
Ansell terdiam, menaruh botol minumnya dan mencoba menetralisir perasaannya. Fashion Stylist berharap setelah istirahat sebentar, Ansell akan menunjukkan keprofesionalisannya, nyatanya aura Ansell masih sama, hanya saja lama-lama berangsur membaik. Ansell sudah mau mengobrol dengan fotografer hasil pekerjaan mereka hari ini.
"Aku mau mengulang foto yang ini, itu hapus saja," kata Ansell menunjuk salah satu hasil fotonya.
"Kau yakin?" tanya fotografer meyakinkan Ansell.
"Ya, aku sedang berbaik hati. Ayo," kata Ansell mulai berjalan ke salah satu sudut studio.
"Baiklah."
Fotografer merasa senang dengan niat Ansell kali ini, terlebih lagi dengan aura wajah Ansell yang berubah drastis daripada foto tadi. Stewart tersenyum, rasanya urat ruwet di kepalanya terlepas satu, meski masalah lain masih belum mendapatkan solusi. Pesan dari Pak Darwin kembali menyapa, menanyakan bagaimana kemajuan tindakan Ansell soal Avery? Ansell yang sudah menyelesaikan pekerjaan di dunia kesayangannya menghampiri Stewart, yakin jika raut wajah asisten sekaligus managernya kali ini tidak baik-baik saja.
Stewart mengalihkan pandangannya dari tablet ke arah Ansell, menghela napas terlebih dahulu sebelum berucap. "Pak Darwin bak ubahnya obat, lima kali sehari udah kayak ngalahin minum obat."
"Masih soal itu? Dia bukan anakku, jadi aku tidak ada kewajiban mengurusinya, mau dia bersama siapa? Hidup baik atau enggak."
"Paling tidak lakukan apa yang jadi keinginan Pak Darwin selama beliau masih hidup, semua orang akan mati, aku tidak mendoakannya agar segera berangkat menghadap Tuhan, itu kenyataan, kau dan aku juga akan mengalaminya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Infinity ✓ (END)
Romance21+ | Update sebisanya ∆Don't Copy My Story∆ Kimaya tak percaya lagi dengan cinta sejak bercerai dengan suaminya. Perekonomiannya amburadul dan terpaksa menyewakan lantai satu dan dua rumah peninggalan orang tuanya kepada seorang pengusaha kuliner...