Hole Of Heart-14

380 82 10
                                    


Dua insan manusia bergelut di ranjang, di bawah lampu kamar yang temaram, saling berkejaran memberi cumbuan. Tak memedulikan di luar rinai hujan, udara yang berubah lembab dan mendorong naluri menikmati kehangatan. Daffin menghentikan cumbuannya kala ingatan akan Kimaya bergantian menyusup keintiman. Ia menyingkirkan tubuh setengah busana Novi, mencari kemeja yang tadi disingkirkannya, memakai dan bangkit.

"Fin," panggil Novi menelusupkan kedua tangannya di celah lengan Daffin, kepalanya bersandar di punggung Daffin.

"Aku mau beli kopi dulu," kata Daffin.

"Fin, jangan gitu donk. Kita 'kan baru mau mulai, ayolah," bisik Novi di akhir kalimat.

Novi menghadang Daffin yang sudah akan pergi, membiarkan tali 'baju wajib' turun perlahan, mempertontonkan gundukan kembar menggairahkan. Daffin terdiam, bukan menyambut apa yang tersaji di depannya, justru memegang tangan Novi dan menatapnya.

"Kau mau dibelikan apa?" tanya Daffin.

"Aku mau kehangatanmu," kata Novi memuja.

"Aku kembali dua sampai tiga jam lagi kalau begitu, bisa lebih, jangan tunggu," kata Daffin berpaling demi mengambil tas berisi barang pribadinya.

"Fin, Fin jangan gini donk, Fin ...." Novi masih berharap Daffin mau merubah pikirannya.

Suara pintu tertutup menyadarkan Novi, jika Daffin sudah tak mau lagi melanjutkan setengah pergulatan cukup panas mereka di ranjang tadi. Novi tak menyukai ini, dirinya sudah terlanjur 'panas' dan harus dipadamkan karena keputusan Daffin sepihak. Novi masuk ke kamar mandi dengan marah, tak seharusnya Daffin memperlakukannya begini, harusnya mereka sudah penetrasi dan bergerak makin bergelora dalam keintiman.

Novi keluar dari sana menyambar pakaian lengkap beserta jaketnya, tak mau ia menunggu Daffin sendirian yang tak pasti kapan akan pulang. Di dal lift Novi menangis, memukul beberapa kali dinding lift, lalu menghapus cepat tangisnya karena sudah sampai di lantai utama. Novi berjalan cepat seolah muak berada di hotel ini lagi.

•••

"Apa salah aku sama kamu, Fin! Jawab aja, apa? Kalau memang aku salah, salahkan saja, aku mau perbaiki lebih baik lagi, enggak perlu kamu hukum aku kayak gini, Fin. Dia itu sobat aku, temen aku!"

Suara amarah Kimaya waktu itu terngiang-ngiang di benak Daffin. Minuman pekat yang dipesannya tak mampu mengusir semua kenangan soal Kimaya. Kimaya sangat marah dan kecewa ketika tahu dirinya berselingkuh dengan Novi. Meski sudah berlalu, nyatanya rasa bersalah bercampur rindu tak mau sirna begitu saja.

Kilasan hubungannya dengan Novi pun menelusup perlahan, mencari celah di antara ribuan kenangan manis bersama Kimaya. Harusnya Daffin dan Novi bisa bahagia, sebab tak perlu lagi sembunyi-sembunyi bertemu dan melepas hasrat, bisa terang-terangan bersama, memagut romansa. Persiapan pernikahan mereka pun sudah hampir rampung, cukup sederhana dibandingkan pernikahannya dengan Kimaya dulu.

Daffin merogoh tasnya, nama mama tercinta tertera di layar ponsel. Ia tak segera menjawab, hanya memandangi sampai tak bergetar lagi. Ia hampir saja memasukkan kembali ke tas, tetapi sudah bergetar kembali.

"Halo, Ma," sapa Daffin malas.

"Kau di mana?"

"Masih di Malang, mau balik besok sorean."

"Jangan balik, suruh aja dia yang balik, mama mau minta anter ke rumah temen mama, anaknya nikah," kata mama Daffin di seberang.

"Di Malang?" tanya Daffin memastikan.

"Enggak, tapi di Surabaya, ya udah mama mau beberes, soalnya ambil penerbangan pagi. Tidur yang cukup, udah malam, udah tua enggak muda lagi."

Mama Daffin menutup sambungan teleponnya sepihak. Daffin memandangi layar ponselnya, wallpaper prewedding-nya bersama Novi. Daffin menelepon kekasihnya guna memberi tahu jika besok mamanya menyusul kemari, tetapi tak dijawab sama sekali. Pemilik telepon tengah enggan menjawab karena sedang sibuk, sibuk memuaskan hasrat dengan cara sedikit berbeda.

Novi penasaran dengan tawaran salah satu bartender soal cara melepas penat dalam pikiran yang melanda tak karuan. Ia diantar ke pintu belakang, menaiki tangga sempit dua kali belokan dan sampai di ruangan berpintu silver. Novi disuruh masuk sendirian. Ruangan itu tak begitu lebar dan luas, hanya persegi dan tak ada barang lain kecuali sebuah kursi di tengah ruangan.

Novi melihat ada lubang di dinding bukan terbuat dari material tebal yang diselotip tepiannya. Ia cukup terkejut melihat apa yang keluar dari sana, torpedo manusia yang berurat berwarna eksotis. Apalagi yang akan dilakukan jika bukan memuaskan hasrat yang tergantung di angan bersama Daffin. Novi awalnya malu-malu di awal, tapi ganas pada akhirnya, bahkan merasa kewalahan karena tak mau berhenti bergerak.

Kekasih Daffin itu luruh di lantai bersandar tembok ketika mendapatkan puncaknya beberapa kali bercampur dengan lelehan cairan berasal dari pria di balik tembok. Novi bergegas membersihkan dan berbenah diri, bersamaan itu ia menyadari jika ponselnya bergetar. Nama Daffin tertera di layar.

"Halo, Fin," sapa Novi yang terdengar mengatur napas agar tak panik.

"Yakin enggak mau sesuatu?" tawar Daffin di seberang. "aku mau balik kamar."

"E, boleh nasi goreng yang kemarin itu enak," kata Novi.

"Baiklah, hanya itu?"

"Iya itu saja," kata Novi berjalan pelan-pelan.

"Oke."

Daffin memutus sambungan telepon lebih dulu. Novi mempercepat jalannya agar segera sampai di hotel sebelum Daffin kembali. Ia membuka cukup kasar pintu kamar hotel, berharap tak ada Daffin di sana dan mencecarnya dengan seribu pertanyaan ke mana ia pergi. Novi melepas pakaiannya dan mandi, selesai mandi ia mengoleskan pelembab badan dan duduk manis di sofa dekat jendela.

"Kau gila, Nov! Gimana kalau Daffin tahu apa yang kaulakukan tadi, huh? Benar, aku sungguh gila! Sekali saja jadi gila wajar 'kan?" Novi bicara sendiri, meyakinkan dirinya perihal dosa yang baru saja dibuatnya di belakang Daffin.

Daffin kembali tiga puluh menit kemudian, membawa satu bungkus nasi goreng seafood pesanan kekasih hatinya. Daffin menemani Novi makan sambil bercakap.

"Besok mama ke sini," kata Daffin. "sendirian."

Novi memelankan gerakan peristaltiknya, "Nyusulin ke sini jauh-jauh ada apa ya, Fin?"

"Katanya sih mau ke rumah temennya yang anaknya nikah, biasalah ibu-ibu kalau udah ketemu temennya pasti lama, jadi—"

"Pergi aja, aku juga mau balik," kata Novi menimpali.

"Maksudku nyusul aja ke Surabaya, pesan hotel terdekat, mama pasti nginep di rumah temennya." Daffin tetap melanjutkan perkataannya.

Novi tertegun, "Yakin? Kalau mama tahu pasti marah."

"Enggak akan, kita akan menikah sebentar lagi, mama harus terbiasa dengan kahadiranmu di sisiku."

Novi tersenyum karena perkataan Daffin, sempat mengira jika pria itu akan mundur dan menghilang sesuai ketakutannya, nyatanya tidak. Mereka berbincang-bincang hampir tengah malam, lalu tidur berpelukan di bawah rintik hujan yang mengetuk jendela kamar.

•••

Kimaya sudah ada di alam mimpi ketika ponselnya bergetar, hingga terbangun dan mengangkat teleponnya tanpa melihat siapa penelepon.

"Hmm, ya," kata Kimaya setengah menggumam karena mengantuk.

"Mama besok mau nyusulin ke Surabaya, awas kalau kita enggak ketemu!" seru seorang wanita yang familier di telinga Kimaya.

"Nyusulin? Ke mana?"

"Kimaya udah tidur ya? Wah, mama ganggu donk. Ini Mama Sharon, Kimaya!"

"Oh, Mama. Maaf, iya Kimaya udah tidur, Ma.
Jadi, besok Mama mau ke Indonesia? Surabaya? Kok kebetulan gini?"

"Iya, kau masih lama kan di sana? Bagus! Mama mau liburan bareng sama-sama, kayak dulu lagi. Daah, sampai jumpa besok, Sayang."

"Iya, Ma. Hati-hati, ya," kata Kimaya mengingatkan.

"Oke!" seru mantan mama mertuanya di seberang telepon.

Infinity ✓ (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang