Abadi-36

578 47 13
                                    

Pada akhirnya, aku tak jua mengerti apakah ini yang dinamakan delusi tingkat tinggi ataukah hanya sekadar mimpi belaka. Aku masih di sini sementara dunia masih terus berjalan tanpaku. Waktu milikku sudah berhenti berputar, terhenti di usia yang tak kusangka akan berakhir. Dia telah menakdirkanku berhenti berjuang, mengakumulasi sejumput kuota agar bisa kembali ke surga, tetapi entahlah ini kurasa juga bukan surga.

Suara tapak sepatu kuda dan pedati terdengar berisik di telinga. Mikay menoleh ke arah jalan yang di sisi kiri dan kanannya merupakan rerumputan setinggi lutut orang dewasa. Di atas pedati seorang pria memakai topi bundar dari kain melambaikan tangan, sementara tangannya yang lain memegang kendali kuda berwarna cokelat. Mika sudah dua kali bertemu dengan pria itu, pertama saat ia terbangun dari tidur yang tak bisa dikatakan sebagai tidur, sebab Miky bangun sudah ada di dalam gazabo kayu di tepi kolam ikan koi merah. Kedua kalinya, ialaah sekarang.

Mikay membalas senyum pria yang suah beruban tersebut. "Sertinya, dia sudah lelah sekali."

Pria tua mengangguk sembari bergrak turun, "Ya, tadi rodanya hampir lepas, dia meringkik gelisah."

"Pantaslah, dia tampak bosan dan kelelahan, lepaskan saja ikatannya," kata Mikay melepas ikatan kuda itu pada pedati.

Kuda cokelat itu berlari bebas di rerumputan tumbuh lebat dan subur. Ringkikannya kini terdengar lebih lega dan merasa sangat bebas, tetapi lambat laun, bayangannya mulai menghilang perlahan, Pria tua bernama Jeves menepuk pedati yang kini tak akan berkuda lagi. Mikay tersenyum getir, cukup dengan rasa kecewanya yang mengira jika sesudah terputus akan semua urusan di dunia, akan menghadap Tuhan, dihitung semua kebaikan dan keburukan di dunia, barulah tahu ke mana tempat terakhirnya. Nyatanya tida, ia justru berada di sini, menunggu waktunya tiba bersama orang-orang mati.

Jeves melepas topinya dan mengibas-kibaskan di wajah, peluhnya terasa menetes di segala sudut wajah, duduk bersama Mikay yang masih saja merenung di tempat favoritnya. Mikay dan Jeves belum sempat mengobrol, sudah terdengar suara sepeda kecil dikayuh, seorang anak kecil lelaki memakai baju khas jaman masa lampau tersenyum riang, di tangannya tergenggam ujung kayu rotan dan kincir angin berputar terkena angin.

"Paman Jeves! Bibi Mikay!" sapa anak lelaki itu riang gembira.

"Hei, jangan kencang-kencang!"

"Dia belum dipindahkan rupanya," kata Mikay.

"Kurasa, dia sudah lebih dulu di sini sebelum aku datang, tetapi entah bagaimana sistemasinya, dia belum dipindahkan sampa sekarang."

Anak lelaki itu terus mengayuh sepedanya, hingga belokan dan terus bersepeda seolah tak mengenal rasa lelah sama sekali. Mikay menengadah, pada langit biru dan berarak elan seiring dengan semilir angin. Jeves kembali menatap Mikay, tetapi kali ini sembari tersenyum, hingga si Empunya wajah menoleh sebab merasa diperhatikan.

"Kenapa menatapku begitu?" tanya Mikay.

"Kau terlalu sempurna kalau menjadi orang gila, Mikay."

Mikay hanya tersenyum, perkataan Jeves tak salah, benar adanya, hanya saja jikapun ia masih merasa delusi seharusnya tak sesederhana ini bukan? Jeves pamit, melanjutkan pekerjaannya yang meskipun sementara ada di sini, tetapi sampai kapan itulah yang membuat siapapun di sini bertahan seperti sebelum mati, termasuk berusaha membuat makanan.

"Kau mau menariknya sampai rumah?" tanya Mikay.

Jeves tertawa, "Yang benar saja!"

"Tinggalkan saja di sini, buat apa susah payah membawa pulang?"

Jeves mengangguk membenarkan. "Ya, ya, ya."

Mikay masih duduk ditempat yang sama, engga beranjak dan membiarkan semua terlewat begitu saja. Mikay bangkit kala senja telah menguning, sebab matahari sepertinya sudah hampir lela menyinari bumi. Kakinya melangkah pelan, sembari memainkan ilalang yang dipetiknya tadi. Ujung atap gazebo terlihat dari kejauhan, tetapi bukan itu yang membuat langkah Mikay terhenti, melainkan sosok pria yang tak asing.

Pria itu pun menatapnya, kemudian senyumnya mengembang. Mikay melanjutkan langkahnya, meski belum tahu apa yang terjadi, tetapi jelas dia sudah mati. Keduanya duduk di gazebo,menatap langit mengarak awan-awan seperti gembala domba.

"Rasanya tak percaya melihatmu di sini," katanya.

"Aku juga, kukira hanya aku dan mereka yang tak kukenal."

"Berhenti di sini saja?"

"Tidak, kuda Jeves tadi menghilang perlahan, mungkin besok giliranku atau kau lebih dahulu, tak ada yang tahu, Ansell"

Keduanya masih di sana, meski gemintang sudah muncul dan bersinar terang, tetap bersama dan menikmatinya, hingga waktu masing-masing saling memisahkan.




••••

Terima kasih sudah mengikuti cerita Infinity sampai selesai. Terima kasih juga untuk semua vote dan comment, sangat berharga untukku.
See you to next story 🥰🥰🥰

Infinity ✓ (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang