Delapan

2K 107 10
                                    


Tuhan... Tunjukkan padaku...
Dimana aku bisa tersenyum....

-Safina-

Warning... !!!!  Part ini mengandung bawang... Siapin tisu...☺️

Seno baru saja menutup pintu ruangannya dan bergegas berbalik hendak keluar kantor. Niatnya hanya mengambil tas laptop sekembali dari urusan di Salatiga. Tapi netranya yang menangkap sinar terang dari ruangan di ujung, membuatnya berbalik haluan. Dahinya berkenyit. Ini sudah kedua kalinya Fina kerja lembur. Tanpa teman. Seluruh staf kantor sudah pulang.

"Mau sampe jam berapa Fin?" Wanita dengan rambut dicepol ke atas itu tersentak. Punggungnya menegak diikuti rentangan kedua tangan bertaut ke depan.

"Duluan aja Pak . Aku sebentar lagi"

"Jangan kemaleman ya.. gak ada teman lho"

Senyum wanita itu terukir dengan mengacungkan kedua jari membentuk huruf O.

Baru saja hendak melajukan mobilnya, ponsel Seno berdering. Ada komplain produk dari customer. Masih duduk di belakang kemudi, ia berbincang dengan sang penelpon. Cukup lama rasanya ia berbicara. Kala memutus sambungan telpon dan melirik jam digital di dashboard, Seno mengingat sesuatu.

Bukankah seharusnya Fina menghadiri pengajian sekian hari mertuanya? Kenapa dia lembur?

Hampir saja ia hendak meraih handel pintu kembali, bayangan Fina tampak keluar dari kantor. Wajahnya terlihat kusut. Langkahnya pun tampak gontai. Seno bisa melihat Fina tak seperti biasa. 

"Bareng aku aja Fin. Mobil ditinggal !", teriakannya dari dalam mobil hanya disambut lambaian tangan ketika sang empunya bergegas menghampiri mobil putih dan melajukannya pergi.

Hari ini Seno mencoba untuk stay di kantor. Sedari ia datang, ternyata Fina sudah duduk di tempatnya pagi buta. Sungguh ini bukan kebiasaan Fina. Raut wajahnya pun sendu tak seceria biasanya. Jikapun ini akibat berduka atas mertuanya yang meninggal, rasanya sedikit janggal. Dan sore itu, dugaan Seno benar. Fina lembur lagi. Hingga pukul tujuh malam, wanita itu masih asik di ruangannya. Padahal sejak maghrib seluruh penghuni kantor sudah pulang. Hanya tinggal aktivitas produksi shift kedua di bangunan belakang.

Dari sofa di ruangan Fina, Seno duduk, alih-alih mengajaknya berdiskusi masalah kantor, yang ditangkap matanya, wanita itu lebih banyak melamun ketimbang serius memikirkan angka-angka yang terpampang di layar di depannya.

"Malam gini Semarang yang asik apaan sih?", pandangan kosong wanita itu beralih.

"Kenapa ?"

"Pengin cari suasana baru aja.. yuk?" , raut muka Fina sedikit cerah. Kepalanya terangguk. Usaha Seno berhasil.

"Pak... clubbing yuk !", Mata Seno menyipit, telinganya memastikan apa yang didengarnya.

"Pak Seno pernah ?"

"Sekali.. tapi gak bisa enjoy.. kamu mau?" Sebenarnya mulut Seno ingin melarang, tapi hatinya berkata lain. Dia sepertinya harus mengikuti apa mau wanita di depannya itu.

Ayo Kita Pisah (end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang