Sepuluh

2.2K 133 9
                                    


Ketika semua tanpa arti...
Biarkan saja rasa itu mati...

-Safina-

Begitu ketok palu hakim terdengar menandai selesainya sidang, Arya bergegas bangkit dengan senyum sumringah.  Menghampiri Fina yang tak kalah tenang menyambut jabat tangannya. Setelah mengangguk sopan pada keluarga besar Arya - mama Tia, Arvan  dan kerabatnya, Fina bergegas beranjak.

Tubuh Seno menegak. Segera menyambut wanita yang membuka pintu kecil pembatas ruang sidang dan pengunjung. Pilihannya untuk datang siang ini nyatanya tak salah. Dari sekian gelintir orang yang hadir, hanya pengacara dan dirinya seorang yang ada di kubu Fina. Fina juga tak menyangka mantan atasannya itu datang ke sidang putusannya. Tak peduli  berpasang mata yang menatap setajam silet dari kubu yang disebut penggugat tadi. Sedang sepasang mata yang lain berubah menyorot tajam lelaki yang tersenyum hangat pada Fina kini.

"Need a coffee?", kepala berkuncir kuda itu mengangguk. Ada binar kelegaan terpancar di sana. Berdampingan dengan sorot luka yang mati-matian hendak disisihkannya. Seno paham, Fina pasti ingin secepatnya berlalu dari tempat itu.

"Fin...!!", Langkah keduanya terhenti di lobby gedung, karena seruan sang penggugat di belakang.

"Bisa bicara sebentar dengan dia Fin", mata Arya jelas tertuju pada Seno membuat alis Fina sedikit menaik. Buat apa coba...

"It's ok ... Tunggu saja di mobil", bisik Arya sambil menyelipkan kunci mobil di jemari Fina.

"Saya Seno.."

"Aku  tau..", disambut Oo saja oleh Seno. Jabat tangannya hanya mengambang di udara.

"Aku cuman mau peringatin kamu. Jangan coba memancing di air keruh. Jangan manfaatin kesendiriannya untuk gantiin tempat saya di samping dia. Dia bukan wanita yang gampang dideketin"

"So....? The problem is?"

"Yaa ..  aku cuman peringatin kamu saja .."

Seno rasanya harus menahan tawanya yang siap meledak sekarang. Laki-laki di depannya itu benar-benar lucu.

"Apa bukan karena Anda me-nye-sal sekarang Pak Arya?", Pertanyaan Seno bernada sindiran itu membuat Arya geram.

"Kamu...."

"Tapi asal pak Arya tahu... hari ini memang  saat yang paling saya nantikan. Saya yang akan menjaganya sekarang. Pak Arya tak usah khawatir, saya pastikan Fina akan baik-baik saja bersama saya",bisikan Seno terdengar lirih tepat di telinga Arya. Sembari menepuk bahu dan melangkah pergi dengan senyum penuh arti. Tak urung membuat wajah Arya menjadi merah padam.


***

Di sudut kamar Bian itu, Fina termangu. Memindai setiap sudut yang ada di sana dalam memorinya. Seakan tak ingin ada satu inchi pun yang terlewat. Harum wangi yang tertinggal di ranjang kecil itu, seakan bisa mewakili raganya yang tak jua bisa ia temui hingga sekarang. Punggung tangannya berkali -kali harus bekerja mencegah sudut basah yang siap meluncur. Dibanding perasaaan sedihnya karena bercerai, justru rasa jauh dari Bian yang lebih mengoyak batinnya.

Ayo Kita Pisah (end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang