Lima belas

1.8K 115 4
                                    

Biarkan aku menangis... 

Kalau itu untuk menyirami benih kebahagianku yang baru

-Safina-

Bude abis meeting sama Arya tadi. Fina juga ikut koq ... Info yang masuk ke telinganya begitu mobil merambah tol Cipularang tadi menjadi jawaban yang cukup bagi Seno. Walaupun hatinya tercubit. Kegundahan Fina menunjukkan wanita itu masih sulit untuk move on dari masa lalunya.

Tangannya berkali-kali menyugar rambut lembabnya. Ia masih berbaju yang sama sejak pagi ketika melarikan mobil hitamnya ke arah Bandung. Kemampuan balapnya diuji untuk bisa menyelinap di antara hectic-nya jalanan di jam sibuk ini.

Sen.. gak jadi aja..
maaf udah ganggu kamu..

Satu pesan Fina itu sengaja tak dibalasnya. Jujur ada rasa tak suka ketika wanita itu meralat pesan awalnya. Menandakan perasaan Fina belum bisa lepas padanya. Jarum jam di dashboard hampir menunjukkan pukul tujuh malam ketika jawaban dari Sari membuatnya gusar. Fina belum pulang. Dan feelingnya ternyata benar, wanita itu masih di kantornya. Hanya ada tenaga produksi di lantai dasar yang masih bekerja, dan Fina hanya sendiri di kantornya. 

Lelaki itu tanpa permisi masuk ke ruangan. Pemandangan berbagai panel gambar wallpaper dan carpet tampak bertebaran di meja sofa di hadapan wanita itu. Si empunya sendiri malah duduk bersandar dengan mata terpejam di kursi kebesarannya. Dengan laptop yang masih menyala di hadapannya. Nampak sekali guratan lelah dan kesedihan yang terpatri di wajah itu.

Dengan perlahan Seno menarik kursi putar mendekati Fina. Duduk di sana menopang paha sambil mengamati pemandangan di depannya. Cantik....

Beberapa kali diarahkan ponselnya untuk mengambil pose yang membuatnya kadang terkikik geli.

"Kan udah kubilang gak usah ke Bandung .." bibir itu tampak mengerucut memprotes mirip gumaman begitu terbangun. Direntangkannya kedua tangan ke depan sambil meluruskan punggung.

Bukannya menjawab, tubuh Seno malah mendekat dengan menyeret kursinya. Mengelus pipi halus itu dengan punggung tangan dan menatapnya sambil tersenyum.

"Hai...." Wajah tampak itu tampak lelah tapi sialnya malah terlihat tampan di mata Fina. Jika begini jangan salahkan kalau jantungnya melompat tak terkendali.

"Pasti ngebut ya? Cepet banget nyampenya?..." Seno hanya menggedikkan bahu.

"Kasian yang udah kangen.. udah kebelet nanti berabe..." Mata Seno mengerling.

"Gombal.." bibir Fina mencebik. Sambil mencepol asal rambutnya.

Senyum yang mulai menghiasi wajah muram itu diam-diam membuat Seno bersyukur bahwa perjuangannya tak sia-sia.

Dahi Fina seketika berkenyit begitu langkah mereka menuju satu-satunya mobil hitam yang masih ada di ujung kanan area parkir Pesona Adi.

"Mobil siapa?" Pertanyaan Fina membuat Seno salah tingkah dengan mengusap tengkuknya.

"Pinjam orang rumah"

Mata Fina menatap penuh selidik tak percaya. Ada sesuatu yang selama ini luput dari perhatiannya. Ia belum mengenal siapa Seno. Ia sudah tau kalo Seno cucu pengusaha Adipala. Tapi dia sama sekali tak tau bagaimana keluarga Adiyaksa itu. Selama ini ia tak pernah bertanya dan Seno tak pernah bercerita tentang keluarganya. Lelaki itu hanya fokus pada Fina hingga lupa mengenalkan siapa dirinya.

Ayo Kita Pisah (end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang