dua puluh dua

1.8K 126 6
                                    


Di secangkir kopi, biarlah aku menjelma menjadi apa saja yang kau inginkan, menjadi pahit ataupun manis asal tetap kau rindukan.

-Safina-

Haii.. update lagi nih...
Yuhuu.. happ reading ya...

Hampir seperempat jam Seno duduk di tempat itu. Ini sudah ketiga kalinya ia berkunjung ke sini. Jika dua pertemuan sebelumnya, ia hanya datang dan berbincang ringan. Kali ini ia ingin sesuatu yang beda. Penampilan dan sorot mata Bian kali ini lebih bersahabat. Ia juga tampak bersemangat memenuhi ajakan Seno untuk sekedar jalan dan makan di luar. Meski hanya ke mall terdekat dengan waktu yang terbatas.

"Bener cuman beli itu aja?", Bian mengangguk. Senyum sumringah tak henti menghias bibirnya. Sepasang sepatu basket impiannya akhirnya bisa juga ia miliki. Minggu depan ia akan ikut kompetisi basket antar SMP se-Jabotabek. Semula remaja itu menolak kala Seno mengajaknya berbelok di salah satu tenant sepatu olahraga di mall itu, begitu mendengar ceritanya. Tapi Seno berkeras  dengan alasan sebagai penambah semangat darinya untuk keikutsertaan Bian di kompetisi itu nanti.

Sambil menenteng paper bag oranye yang cukup besar itu mereka berpindah ke area bermain. Seno menantang Bian menjajal kemampuan basket yang katanya pasti tak kalah jauh dengan bocah itu. Di area ring yang bersebelahan, mereka berlomba melakukan shooting bola sebanyak-banyaknya. 

"Tuh kan apa Om bilang.. gak kalah jauh kan?"

"Gak jauh apaan Om.. Om Seno kan cuman duapuluh, nih Bian tiga lima.. jauh dong.."

Seno tergelak. "Iya..iya.. ngaku kalah sama kamu..." Seno menepuk pundak Bian bangga. " udah yuk..makan... laper nih.."

Di kedai ayam goreng yang mendunia itu, akhirnya mereka habis kan waktu bersama. Tak tanggung tanggung porsi ayam satu basket untuk lima orang yang mereka pesan.

"Om.... Bunda sekarang dimana?", satu suap cuilan ayam berbalut saos pedas itu mengambang di udara. Selama bertemu Bian, Seno memang sengaja tak menyinggung tentang Fina.

"Mau ngobrol sama Bunda?" dagu Seno mengarah pada ponsel di meja. Tapi disambut gelengan kepala Bian. Setelahnya Seno membiarkan anak lelaki itu menandaskan menunya dulu.

"Masih belum mau ketemu Bunda? belum mau mendengar suara Bunda? hmm?"

"Om.. salah gak kalau Bian ingin Bunda sama Ayah jadi satu lagi?", pertanyaan Bian bikin Seno terkesiap.

"Kenapa?"

"Bian sayang Ayah.. Bunda juga.." Nada bicara Bian lirih. Cukup membuat Seno terenyuh. Bagaimanapun Bian anak-anak, pihak yang pasti paling terluka akan perceraian Fina-Arya.

"Apa menurut Bian, Bunda mau? Dan Ayah juga?"

"Bian gak tau.. tapi kemarin Bian bilang sama Ayah. Minta Ayah balik sama Bunda". Seno harus menahan napas sekarang.

"Kak... urusan mereka Kakak gak bisa maksa. Hidup mereka berdua itu urusan mereka Kak. Gini.. Gini... Om mau ngomong sekarang sama Bian..."

Bian menatap Seno intens. Menu di depan mereka sudah tandas.

"Om rasa Bian sudah dewasa sekarang. Bian sudah harus belajar mengerti bagaimana kehidupan orang dewasa. Bunda Fina dan ayah Arya itu  sudah punya kehidupan masing-masing. Apalagi Ayah sudah menikah lagi. Dan itu kemauan Ayah sendiri. Ayah sudah memilih bahwa Mami Arnez adalah orang yang sekarang paling tepat dampingin Ayah. Kalo ditanya alasannya... itu hanya Ayah yang tau. Tapi yang perlu Bian tau adalah...  pernikahan itu bukan permainan Kak. Pernikahan Ayah itu janji di depan Tuhan. Gak bisa dipermainkan seenaknya. Baik buruk Tuhan yang akan menilai. Jadi kalau Bian meminta Ayah untuk balik sama Bunda, berarti Bian minta Ayah membatalkan janji yang Ayah buat dengan Mami Arnez. Dan itu berurusan sama yang di Atas. Bian paham kan sampai di situ?"

Ayo Kita Pisah (end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang