Tiga puluh sembilan
"Laqueta aku mau nanya," ucap Meesam seraya menghampiri Laqueta yang duduk di sofa yang berada di kamar mereka.
"Apa?" tanya Laqueta tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop, wanita itu sedang melanjutkan tulisannya yang sempat tertunda selama beberapa hari ini.
"Kalau teman-teman kita datang ke sini, kamu keberatan, nggak?" Meesam menanyakan itu karena teman-temannya ingin mengunjungi mereka, tetapi karena Meessam paham dengan sikap Laqueta, maka ia bertanya lebih dulu.
"Teman-teman kita?" beo Laqueta, ia merasa tidak memiliki teman.
"Iya, Bara, Aliza sama yang lain." Meesam memberitahu siapa yang ia maksud.
Laqueta mengangguk. "Oh, teman-teman kamu."
"Nggak apa-apa, lah," lanjut Laqueta.
Meesam memicingkan matanya. "Beneran?"
Laqueta mengangguk yakin, mana mungkin dia melarang Meesam membawa teman-temannya kemari. Laqueta memang memiliki hak atas rumah ini, tetapi tidak sebanyak Meesam.
"Ikhlas?" tanya Meesam lagi.
"Ikhlas." Laqueta menjawabnya dengan nada yang terdengar santai, ia mencoba merubah dirinya, dari yang awalnya tidak suka dengan kedatangan orang, kini mencoba untuk menyukainya.
"Yaudah, aku bolehin, ya?" Meesam mencoba memancing Laqueta agar mengatakan isi hatinya.
"Iya, kabarin aja."
Jawaban yang diberikan Laqueta membuat Meesam merasa senang dan sedih, ia senang karena Laqueta mencoba untuk mulai menerima kehadiran orang-orang, tetapi ia juga sedih karena Laqueta tidak mau mengatakan isi hatinya yang sebenarnya.
Meesam langsung menghubungi Bara untuk mengatakan bahwa mereka bisa datang ke rumahnya, awalnya mereka ingin bertemu di kafe ataupun restoran, tetapi Meesam menolak dengan alasan tidak mau meninggalkan Laqueta sendirian dan teman-temannya memahami kondisinya.
"Mungkin sebentar lagi mereka datang," ucap Meesam setelah selesai menelfon Bara.
Laqueta terkejut, secepat ini? Ia pikir teman-teman Meesam akan datang beberapa hari lagi.
"Kenapa? Kamu kayak nggak suka gitu?" Meesam pura-pura tidak tau.
"Bukannya nggak suka, aku cuma shock aja, aku pikir datangnya masih lama." Laqueta mengelak.
"Ta, aku boleh nanya, nggak? Kalau kamu nggak mau jawab, nggak apa-apa, sih."
Laqueta menyimpan tulisannya lalu mematikan laptopnya. "Nanya apa?"
"Kenapa kamu nggak suka kalau datang orang-orang ramai-ramai?"
Laqueta tidak pernah menyangka jika pertanyaan seperti ini akan diajukan padanya, karena Laqueta tidak pernah siap untuk menjawabnya, ia takut jika pikirannya disalahkan.
Melihat Laqueta yang hanya diam membuat Meesam merasa tidak enak. "Kalau kamu nggak mau jawab, nggak apa-apa kok."
"Bukannya nggak mau, tapi sebelum menjawabnya boleh aku minta satu hal?"
Meesam mengangguk tanpa ragu.
"Tolong jangan hina pemikiran aku, jangan mengatakan sesuatu yang seolah-olah pemikiran aku ini salah. Bisa?"
Meesam mengangguk mantap. "Bisa."
"Aku nggak suka dihina, diejek, diomongin dan hal-hal lainnya yang seperti itu. Aku paling nggak suka jika ada yang melakukan itu padaku, lingkungan tempat aku tinggal bukanlah orang yang sibuk dengan urusan masing-masing, tapi sibuk dengan urusan orang lain."
KAMU SEDANG MEMBACA
Byakta Family [Selesai]
General FictionIni kisah Laqueta setelah menikah, aku sarankan untuk membaca cerita 'Laqueta' terlebih dahulu ❤ Sifat Laqueta tidak akan bisa berubah walaupun status dan kehidupannya telah berubah. Setelah memiliki keluarga kecil yang tampak sempurna, Laqueta teta...