TUJUH-BYAKTA FAMILY

695 51 0
                                    

Tujuh

Pagi ini kesibukan Laqueta berbeda dengan hari-hari sebelumnya, biasanya ia hanya perlu menyiapkan keperluan keluarga kecilnya untuk kegiatan sehari-hari. Tetapi kali ini berbeda.

"Ta, tasnya udah dimasukin ke mobil sama pak Tono."

Entah untuk apa Meesam melapor, tetapi ia rasa itu perlu untuk meringankan pekerjaan istrinya.

"Iya."

"Anak-anak udah siap, Ta?" Meesam bertanya karena tidak melihat keberadaan satupun anaknya, setelah bangun si kembar langsung kembali ke kamar mereka untuk mandi dan setelah itu Meesam belum melihat mereka lagi.

"Mungkin bentar lagi."

"Morning, Papi, Mami." Anak sulung yang menyapa lalu menuju ruang makan, Ojwala sudah lapar dan dia tidak tahan lapar. Persis bapaknya.

"Morning, Bang."

"Aku liat kembar dulu," ucap Meesam lalu menuju ke lantai dua, tempat dimana kamar si kembar berada.

Sementara Meesam melihat si kembar, Laqueta menuju ruang makan untuk menemani Ojwala.

"Mami, kenapa beres-beres? Kita mau jalan-jalan, ya?"

Ketika berada di kamar tadi, Ojwala melihat papi dan seorang supir sedang menyimpan barang-barang di bagasi.

Laqueta bingung harus menjawab apa, jika dijawab. Iya. Maka itu artinya dia juga ikut, padahal hanya Meesam dan anak-anak saja.

"Mami! Ochi mau cheesecake lagi," ucap Ochi ketika sudah tiba di meja makan bersama Ogya dan Meesam.

Laqueta melihat jam tangannya, sudah hampir jam delapan, mereka harus segera pergi ke bandara jika tidak ingin telat.

Laqueta memegang lengan Meesam untuk menarik perhatiannya. "Udah hampir jam delapan," ucap Laqueta membuat Meesam langsung melihat jam tangannya.

"Kids, makan di mobil aja, ya. Kita pergi sekarang."

"Mau kemana?" tanya Ogya, dia rasa hari ini mereka tidak memiliki jadwal kemanapun.

"Bali," jawab Meesam singkat.

Ketiga anaknya langsung bersorak senang dan langsung ke luar rumah dengan membawa makanan.

"Mereka semangat banget," gumam Laqueta.

🌸🌸🌸

"Mami nggak ikut?" tanya Ochi dengan mata yang sudah berlinang, tadi dia senang karena akan jalan-jalan, tetapi sekarang sedih karena Laqueta tidak ikut.

Laqueta mensejajarkan tingginya dengan Ochi dan mengusap kepala si bungsu. "Enggak, sayang."

"Ochi nggak mau pergi kalau Mami nggak ikut, Ochi nggak mau ninggalin Mami." Air mata Ochi sudah turun dengan deras, dia tidak mau meninggalkan Laqueta sendiri.

Manisnya.

"Sayang, Mami nggak apa-apa, Mami ada urusan disini." Laqueta mencoba untuk membujuk.

"Nggak mau!" Tangisan Ochi semakin keras membuat orang-orang melihat ke arah mereka, tentu saja Laqueta menjadi risih.

Laqueta menatap Meesam, meminta pria itu untuk membantunya membujuk Ochi.

"Ochi, mami mau pasir pantai, tapi mami nggak bisa pergi, emangnya Ochi nggak mau bawain pasir pantai untuk mami?"

Laqueta diam saja mendengar ucapan Meesam, apa tidak ada alasan lain selain ... pasir pantai?

"Mami mau pasir pantai?" tanya Ogya, dia penasaran, apa ucapan papinya itu benar? Tetapi, masa iya maminya menginginkan pasir, di depan rumah mereka juga banyak pasir.

"Iya, Mami mau pasir pantai." Iyakan saja, mungkin dengan ini anak-anaknya akan terbujuk.

"Ochi, Ogya sama Ojwala nggak mau bawain pasir pantai untuk Mami?" tanya Laqueta agar lebih meyakinkan.

"Mau! Nanti Ochi bawain."

Huft, akhirnya.

🌸🌸🌸

Ketika suami dan anak-anaknya pergi ke Bali, Laqueta langsung menuju ke rumah orang tuanya, dia sudah sangat merindukan kedua orang tuanya. Akan tetapi, bukannya mendapat sambutan hangat, Laqueta justru kena omel karena tidak ikut dengan suaminya.

"Laqueta kamu itu sudah besar, jangan bersikap seperti anak kecil lagi. Kalau suami lagi pergi ketemu teman-temannya, seharusnya kamu ikut, apalagi anak-anak dibawa."

Laqueta menyandarkan tubuhnya di sofa, niatnya datang adalah untuk melepas rindu, tetapi malah kena marah seperti ini.

"Apa yang akan teman-teman Meesam pikirkan tentang kamu? Seorang istri yang membiarkan suami dan anak-anaknya pergi, kamu mau dicap sebagai istri dan ibu yang tidak bertanggungjawab?!"

"Bunda. Aku nggak maksa untuk tinggal, Meesam sama sekali nggak marah, dia yang ngebolehin," ucap Laqueta membela diri.

"Kamu beruntung dapat suami yang bisa memahami sifat kamu ini, tetapi tidak semua orang bisa melakukannya! Kamu akan dicap tidak baik, Nak."

Mina memijat pelipisnya pelan, walaupun sudah menikah tetapi anaknya ini tetap tidak berubah. Laqueta selalu suka sendiri.

"Tapi aku selalu ngejalanin tugas aku."

"Selalu? Lalu bagaimana dengan kali ini?"

Laqueta menatap Mina dengan kesal. "Apa karena satu hal kecil, semua hal baik yang aku lakuin hilang gitu aja?"

"Justru karena satu kesalahan maka semua kebaikan kamu bisa dilupakan."

Ucapan Mina membuat Laqueta menjadi khawatir, kenapa dia tidak memikirkan ini sebelumnya? Laqueta tidak tau jika hal seperti itu bisa terjadi, padahal dia sama sekali tidak memaksa.

"Rubahlah sikapmu, Nak, jangan sampai kamu menyesal nantinya." Mina hanya bisa memberikan nasehat, putrinya sudah dewasa dan bisa memahami apa yang baik dan buruk.

"Istirahatlah, semuanya sudah terlanjur, tapi jangan diulangin lagi." Setelah mengucapkan itu, Mina berlalu dari hadapan Laqueta, meninggalkan putrinya yang sedang memikirkan ucapannya barusan.

Laqueta langsung masuk ke dalam kamar yang sudah dia tempati sejak kecil, besar kamar ini tidak sebanding dengan kamarnya sekarang, tetapi Laqueta nyaman berada di sini, tidak peduli dengan besarnya.

Wanita itu duduk di single bednya lalu menatap ponselnya dengan tatapan hampa, Laqueta memang merasa senang karena bisa menghabiskan waktu sendirian, tetapi dia tetap merindukan anak-anaknya.

Laqueta membuka galeri ponselnya dan melihat foto pernikahannya, mata wanita itu langsung berkaca-kaca, dia merasa tidak pantas bersanding dengan Meesam, pria itu sangat baik dan pengertian, sedangkan dirinya? Bahkan tidak bisa memahami isi hati suaminya dengan baik.

Laqueta merasa Meesam berhak mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik, bukan dirinya yang merupakan wanita egois yang tidak bisa menempatkan diri dengan baik.

Air mata Laqueta turun membasahi pipinya, isakan yang ia keluarkan teredam oleh bantal yang menjadi alas tangisannya. Laqueta merasa bersalah kepada Meesam, seharusnya mereka tidak menikah sehingga pria itu bisa mendapatkan orang lain yang lebih baik dalam segala hal.

Walaupun sudah semakin berumur, Laqueta tetap tidak bisa mengendalikan perasaannya sendiri, ada saatnya ketika dia merasa menjadi orang yang paling rendah karena kesalahan yang diperbuatnya. Hingga hal seperti ini terjadi, Laqueta merasa insecure kepada suaminya sendiri.

Tangisan Laqueta semakin deras, kenapa dia sampai tega menjebak Meesam dalam hubungan ini? Jika Laqueta menolak lamaran Meesam, maka semuanya tidak akan sama.

Ponsel Laqueta berbunyi. Meesam.

Laqueta langsung menjauhkan ponselnya, ia sama sekali tidak berniat untuk menjawab panggilan dari suaminya itu, Laqueta masih merasa bersalah, banyak hal yang Laqueta pikirkan dan dia butuh waktu untuk menenangkan dirinya sendiri.

🌸🌸🌸

Sabtu, 11 September 2021
Revisi: Rabu, 5 Juli 2023

Byakta Family [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang