56 - Siapa?

2.2K 321 40
                                    

🦋 Halohai! 🦋

Gimana kabar kalian? Semoga baik dan sehat-sehat selalu, ya.

Harusnya itu update semalem, tapi ternyata aku ada acara alias ngezoom sampai jam 11 malem. Emang agak membagongkan, tapi.... Ya, udah lah yaaaa👽

Part ini panjang, 3000 kata.

Semoga suka, enjoy!

-

21.00

Setelah makan malam, Bian menepati janjinya akan membacakan dongeng untuk Kaila. Itu juga sebagai permintaan maaf karena pada saat makan malam tadi Bian sempat membentak putri semata wayangnya itu. Masalahnya sederhana, hanya karena Kaila bertanya tentang kesibukannya akhir-akhir ini dan Kaila meminta ayahnya untuk menemani bermain sepeda. Diluar dugaan, respon Bian justru sedikit membentak karena pikirannya yang tengah kalut masalah pekerjaan.

Kaila tetaplah Kaila yang memiliki hati selembut kapas, yang jika dibentak sedikit saja raut wajah murungnya bisa dengan mudah tercipta.

"Kok, kamu belum tidur?" tanya Bian masuk ke dalam kamar dan mendapati Nara yang masih bersandar di kasur sambil mengusap-usap perutnya.

Nara lekas menggeleng. "Aku nungguin kamu cerita."

Bian pun menutup pintu dan mengerutkan keningnya. "Cerita apa? Saya ngga punya cerita apa-apa," jawabnya sambil duduk di tepi kasur.

Pandangan mata Nara berubah penuh selidik. "Ngga usah bohong, Mas. Aku tahu kamu pasti lagi ada masalah, tadi pulang kantor kamu tiba-tiba peluk aku, terus waktu makan malam kamu kelepasan bentak Kaila. Kenapa?" tanya Nara dengan suara lembut.

Bian pun ikut menyandarkan tubuhnya di sandaran kasur. Menghela napas kasar. Jika bisa digambarkan, maka otaknya sudah lebih parah dari benang kusut. Siang tadi baru saja dia mempermalukan dirinya sendiri hanya karena perhitungan laporan keuangan yang salah, pun juga dengan proyek di Bogor yang harus berhenti pengerjaannya pada hari ini.

"Mas," panggil Nara.

Bian pun menoleh di sela-sela lamunannya. Merasa tidak direspon, Nara pun menyerah. "Ya, udah, kalau kamu ngga mau cerita. Tapi aku minta kamu kontrol emosi, ya," kata Nara sambil mengusap lengan kiri suaminya itu. "Kalau kamu mau cerita aku siap dengerin, kok. Tapi kalau belum mau, ngga papa."

Nara pun teringat akan satu hal. "Besok aku mau ke mal, ya, sama Anin," ujar Nara memberitahu.

Bian pun menoleh. "Ngapain?"

Nara hanya mengangkat bahunya dan tersenyum. "Ya, jalan-jalan aja." Nara memberi seringai miring. Memang tidak ada tujuan yang jelas tentang rencananya dengan Anin esok hari. Namun Nara hanya berharap suaminya itu mengizinkan.

"Boleh?" tanya Nara sekali lagi.

Bian hanya menghela napas kasar. Sebenarnya untuk melepas Nara bepergian sendiri Bian sudah sulit mengizinkan, namun dia tahu tabiat dari istrinya yang jika tidak diizinkan sedikit banyak akan marah padanya. "Kalau saya ngga izinin, kamu marah ngga?" tantang Bian.

Tatapan Nara pun berubah tak penuh harap. "E-e-engga, ngga diizinin juga ngga papa," tutur Nara. Dia sebenarnya sudah tahu jika akhir-akhir ini akan sulit mendapat izin mengingat kehamilannya sudah semakin membesar.

"Saya itu lagi sibuk, besok juga saya harus ke Bogor. Siapa yang mau nemenin kamu?" tanya Bian memastikan.

"Anin."

"Anin, kan, juga lagi hamil. Siapa yang mau jaga kalian berdua? Saya ngga izinin kalau kamu pergi cuma berdua," jelas Bian.

Nara terdiam dan memutar otak. Siapa yang akan menemaninya esok hari?

Amerta - [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang