Ch. 22 - Blak-blakan

9 3 2
                                    

Note from Panpan:
Touridersss,
Sebelum mulai baca, Panpan mau kasih hint nih.
Di bab ini ada scene yang beneran kejadian loh. Coba ditebak dengan meninggalkan komen yaaa 😁
Looking forward to read your guess ❤




Sepanjang jalan menuju Ankara, Ayla sengaja memasang earphone pada telinganya dan memejamkan mata. Dia sedang tak ingin berbicara dengan siapa-siapa. Untungnya sekarang ada Arslan yang dapat cover pekerjaannya sebagai tour guide.

"Iya, Pak, sekarang kita sudah memasuki Ankara - ibu kota negara Turki," sahut Arslan.

Ayla tetap memejamkan mata, tapi telinganya fokus mengikuti percakapan Arslan dengan Pak Adrian.

"Ibu kota Turki bukannya İstanbul?" Ayla mengenali suara Pak Bambang. Belakangan ini Pak Bambang jadi lebih bawel. Ayla sampai curiga, mungkin inilah Pak Bambang yang sesungguhnya - sebelas dua belas dengan Pak Adrian yang suka bertanya. Bedanya Pak Bambang slow to warm up. Jadi sekarang baru mulai kelihatan karakter aslinya.

"Itu dulu, ketika İstanbul masih bernama Konstatinopel dan dibawah pimpinan kekaisaran Ottoman. Namun setelah Mustafa Kemal Atatürk meraih kemerdekaan bagi Turki, beliau memindahkan ibu kota Turki ke Ankara, sedangkan İstanbul sendiri berkembang menjadi pusat bisnis."

Arslan pun mulai menjelaskan sejarah Negara Turki. Sesekali Ayla menangkap ada suara Pak Zendy yang ikutan bertanya, juga ternyata ada Ibu-ibu yang tertarik, seperti pasangan kakak beradik - Bu Vero dan Bu Kinanti - yang belum lama ini Ayla baru tahu mereka berdua berprofesi sebagai sejarawan di salah satu perguruan tinggi terkenal di Indonesia. Tak heran mereka tertarik dengan segala hal yang berbau sejarah.

🎈🎈🎈

Arslan baru saja selesai menjelaskan tentang Mausoleum of Atatürk, tempat yang sedang mereka kunjungi saat ini. Seperti biasa, peserta langsung berpencar begitu diberikan waktu bebas. Arslan yang sejak tadi mengawasi Ayla segera memanggilnya, sebelum gadis itu menghilang seperti waktu di Göreme.

"Tunggu sebentar." Arslan menyimpan bendera tur ke dalam ransel, lalu sebagai gantinya, ia mengeluarkan sebuah gantungan balon udara yang berjuntai dari dalam tas ranselnya.

"I hope this could cheer you up. Tadi aku lihat ini di toko souvenir.. aku pikir, it would be nice if you could bring it back with you. Bisa gantung di di kamarmu.. seperti wind chime. Jadi ketika kamu melihatnya, kamu akan ingat dengan tempat kesukaanmu," jelas Arslan penuh semangat.

Ayla meraih gantungan itu, ada rasa hangat menyelimuti hatinya. Betul apa kata John Rulin dalam salah satu giftology-nya, 'It's not the thought that counts, but it's the thoughtful thought that counts.'

Teddy hanya memberi dari apa yang ia pikir baik. Dia lupa bahwa Ayla bukan tipe yang akan menerima barang mahal dari orang yang tak ada hubungan apa-apa dengannya, apalagi mantan. Tapi Arslan... dia memberi dengan mempertimbangkan sisi Ayla. Somehow, it makes the gift becomes a thousand times more meaningful.

"Thank you, Arslan," katanya tersenyum tulus.

Arslan membalas senyum itu, "By the way, kamu masih mau sendiri dulu atau sama-sama keliling?"

"Hemmm, bareng aja deh," putus Ayla.

Kemudian keduanya beranjak meninggalkan lapangan upacara Mausoleum of Atatürk, menuju ke Lion Roads.

Lima menit pertama mereka habiskan dalam kesunyian, masing-masing sibuk dengan pikiran sendiri hingga Arslan mengambil inisiatif untuk memecah kesunyian itu, "Oh ya, kamu masih tinggal di Jogja?"

"Udah gak, aku dan Mama sekarang tinggal di Jakarta."

Arslan magut-magut, "Karna pekerjaan?"

"Bukan, karna kesehatan Mama. Dulu waktu aku baru mulai kuliah gak lama, Mama sempat sakit, stroke ringan. Dan di Jogja kami gak ada siapa-siapa. Jadi kami putuskan pindah aja. Biar aku bisa lanjut kuliah sambil jaga Mama."

TOURITHJOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang