Jangan lupa vote, komen dan follow akun WP ini + IG @akudadodado yaaw.
Thank you :)
🌟
Ada banyak hal yang Elan sesali sepanjang hidupnya. Penyesalan untuk hal-hal yang tidak dapat diulang lagi, meskipun ia mau. Penyesalan yang menghantuinya selama bertahun-tahun. Beberapa membuatnya hidup dengan lebih baik, yang lainnya membuatnya mempertanyakan kenapa ia mengambil keputusan itu dulu atau yang paling buruknya dan sisanya membuatnya bertanya-tanya kenapa ia tidak mengambil keputusan itu dulu. Misalnya, dulu ia lebih memilih untuk tawuran demi mementingkan ego saat SMA. Atau saat kuliah, ia memilih jurusan yang bertentangan dengan keinginan ayahnya hanya karena ingin membuktikan kalau ia bisa dan sanggup merencanakan masa depannya sendiri tanpa intervensi orang lain. Menganggap dirinya sudah dewasa untuk dicampuri oleh orang lain. Itu adalah jenis penyesalan yang masih dapat membuatnya tidur di malam hari. Penyesalannya sekarang adalah kenapa ia menyetujui rencana Abigail dan membuatnya terjebak di lubang yang cewek itu buat.
Elan mondar-mandir di ruang tengah Abigail, menyalurkan seluruh emosinya yang terkungkung di dalam tubuh selama berjam-jam. Jeans dan kemeja yang digunakan oleh Elan sudah digantikan dengan sweatshirt dan jogger berwarna abu-abu. Miliknya yang diembat oleh Abigail juga. Cewek yang menjadi sumber masalahnya hanya duduk diam di sofa, sesekali melirik ke arahnya dan ketika Elan menatap balik, Abigail sudah membuang muka.
"Jadi, gue harus berpura-pura jadi pacar lo sampai beberapa bulan ke depan?" tanya Elan lamat-lamat. Wajah Tasya berkelebat di matanya. Elan sudah menghabiskan berminggu-minggu untuk mendekati Tasya setelah mengenalnya "Lo tau kan ini berbeda dengan kebohongan yang gue lakukan dulu? That was one time thing, Babi. One time thing. That's not supposed to belittle me like this."
"Gue nggak mengira akan jadi hal sebesar sekarang, El. Mana gue tahu kalau bokap bakalan ngomong ke lo kayak gitu dan keluar ultimatum untuk bawa lo ke acara keluarga di puncak dua minggu lagi," gumam Abigail perlahan, "gue juga nggak kira kalau lo bakalan setuju aja sama permintaan bokap." Abigail meringis melihat Elan yang kini semakin kesal karena ucapannya. Abigail menggigit lidah untuk menahan protes yang akan keluar dari mulut karena dipelototi Elan.
"Lo pikir gue bisa apalagi selain anggukkin kepala? Setelah bokap lo curahin isi hatinya ke gue?"
Abigail meringis sambil menggaruk ujung hidungnya yang tidak gatal. "Iya juga," gumamnya.
"Kenapa bukan lo yang bilang enggak?"
"Ya, gue nggak enak bilangnya ke bokap."
Elan mendengkus mendengar jawaban Abigail. "Nikahan sepupu lo selanjutnya itu kelamaan, Bi. Nggak bisa apa bilang kalau kita nggak cocok di minggu depan? Like kita lebih cocok as a friend." Kedua tangan Elan terangkat dengan telapak tangan yang terbuka. Mencoba memberikan alasan masuk akal untuk mereka putus. Lalu kelebatan wajah William yang mengatakan kalau merasa lebih tenang jika Abigail bersamanya muncul. Elan menggelengkan kepala dan mengeraskan hati. Ia memang menghormati William, tapi tidak sampai ke tahap harus mengorbankan dirinya sendiri.
Abigail menggigit bibirnya sendiri, mempertimbangkan apakah harus memberikan alasan kenapa ia sulit mengatakan kejujuran pada ayahnya atau tidak. Namun, sepertinya tidak ada jalan lain sekarang. Abigail berdeham, membersihkan tenggorokannya agar suaranya tidak menyerupai cicitan. "Beberapa bulan yang lalu Bokap ke Rumah Sakit. Dokter bilang...dokter bilang jantungnya lemah."
Elan menghentikan kakinya yang sedari tadi terus menerus bergerak. "Yang lo beliin treadmill? Bukannya karena kecapaian?"
Gelengan menjadi jawaban singkat Abigail sebelum cewek itu menjelaskan lebih lanjut. "Itu penyebab pertama kenapa dibawa ke dokter. Tapi setelah dicek jantungnya baru ketahuan. Faktor usia juga, sih. Udah kepala tujuh gitu."
Kaki Elan lemas seketika. Ia berjalan ke sisi sofa yang kosong di sebelah Abigail. Keruwetan di kepalanya semakin parah karena mendengar informasi baru dari cewek itu. Ia tidak dapat mengeraskan hatinya jika itu adalah alasan kesehatan. Memangnya ia siap kalau harus bertanggung jawab atas nyawa seseorang?
"Makanya kasih gue waktu sebentar lagi. Sambil cari pacar beneran dan bilang pelan-pelan ke Bokap kalau gue sama lo udahan."
Pilihan apa lagi memangnya yang tersisa kalau keadaannya seperti ini?
"Jangan lama-lama, please. Gue nggak bisa ngatur waktu kerjaan, Tasya dan sekarang ditambah sama keluarga lo juga." Elan memijit keningnya, cukup kencang agar peningnya tidak terlalu terasa. "Kita juga perlu pikirin ground rules-nya."
"Nggak ada kontak fisik," ujar Abigail cepat yang membuat Elan membuka matanya dan melirik cewek itu sinis.
"Orang pacaran macam mana yang nggak ada kontak fisik sama sekali? Sekedar pegangan tangan dan peluk masih ok. Lebih dari itu enggak, terima kasih." Elan bergidik membayangkan melakukan kontak fisik lebih dari pelukan dengan Abigail.
Abigail manyun. Kontak fisik dengan Elan selalu dihindarinya dan sekarang hal itu harus dilakukan di depan keluarga.
"Kalau Bokap lo nggak maksa gue datang, gue nggak mau datang ke acara keluarga lo. Bilang gue sibuk atau apa, kek. Terutama kalau gue harus datang ke acara keluarga Tasya," kata Elan final. Ia tidak mau didebat untuk masalah ini.
Abigial setuju dengan ucapan Elan. Karena mau bagaimana pun, sudah ditolong saja ia patut berterima kasih. Ia tidak ingin menyeret cowok itu lebih jauh lagi. "Okay, ada lagi?"
Elan tampak berpikir sambil berpangku tangan. "Nanti gue pikirin sambil jalan, lo ada lagi nggak?"
Abigail menggeleng.
"Kira-kira lo mau bilang ke keluarga lo kapan? Gue harus tau seengaknya ini akan berjalan berapa lama lagi."
Kali ini giliran Abigail yang berpikir keras tapi kepalanya tidak menemukan timeline yang lebih baik dibanding pernikahan sepupunya yang akan dilakukan tiga bulan lagi. "Tiga bulan lagi?"
Elan menyerah dan pasrah. "Tiga bulan lagi. Nggak ada lebih dari itu."
Abigail memekik girang. Sekarang ia memiliki tiga bulan untuk mencari pacar, memikirkan rencana bagaimana hubungannya dan Elan berakhir serta merangkai kata-kata yang kan mengurangi efek kebohongannya. Memangnya ada? Kebohongan mau dipercantik seperti apa pun tetap saja suatu kebohongan, pikir Abigail. Efek yang ditimbulkan tetap saja akan besar. Mau judulnya white lie, tetap saja bohong. Ia mencoba meyakini dirinya sendiri kalau ini adalah kebohongan dengan tujuan baik sambil berdoa kalau Tuhan meringankan hukumannya nanti di akhirat.
"Karena ini tiga bulan, gue harus ngomong ke Tasya, nggak?," tawar Abigail ketika teringat akan wajah Tasya.
Elan menolak dengan keras usulan sahabatnya itu, "Lo mau bilang apaan? Mau bilang kalau gue pacaran pura-pura sama lo sampai nikahan sepupu lo selanjutnya? Orang yang pikirannya lurus macam apa yang mau terima? Gue aja yang bilang nanti ke dia. Gue pikirin dulu caranya," tukasnya mantap padahal dalam hatinya ia tahu kalau cerita ini tidak akan sampai di kuping pacarnya itu. Ini bukan hal penting yang akan mempengaruhi hubungan mereka.
31/12/21
BTW yang mau baca cerita Jessica sudah tamat ya di judul The honeymoon Is Over (marriage life, romcom gemes). Cerita lain yang sudah tamat dan masih lengkap di WPku juga ada Every Nook and Cranny (fake dating metropop, bf to lover), Love OR Whatnot (marriage life angst), dan Rumpelgeist (romantasy)
KAMU SEDANG MEMBACA
Every Nook And Cranny [FIN]
ChickLit[PART LENGKAP] May contain some mature convos and scenes Bagi Abigail Williams, El adalah tempatnya berkeluh kesah setelah diputus oleh para mantan pacarnya yang kurang ajar. Tempatnya meminjam kaos, sweater serta hoodie yang nyaman tanpa perlu di...