Jangan lupa vote, komen dan follow akun WP ini + IG @akudadodado yaaw.
Thank you :)🌟
"El, lo dengarin gue ngomong apaan nggak, sih?" Abigail memutus rantai kereta ingatannya yang membawa Elan ke masa saat pertama kali mereka bertemu. Sepuluh tahun lalu. Suara Abigail yang sengau membuatnya yakin kalau cewek itu sudah selesai menangis. Berapa lama ia bengong? Berapa lama juga Abigail terus-terusan mengoceh tanpa henti? Kedatangan cewek itu dengan air mata yang mengambang di pelupuknya selalu berhasil mendistorsi waktu Elan. Matanya selalu terpejam dengan telinga yang berusaha untuk disumpal supaya suara cempreng Abigail tidak merusak gendang telinganya.
"Enggak, gue nggak mau dengar lo ngomong. Pusing," balasnya ketus. Elan membuka sedikit matanya untuk melihat seberapa kacau apartemennya dan mengkalkulasi seberapa banyak waktu yang diperlukannya untuk mengdisinfektan ruangan yang penuh dengan tisu beringus. Karpetnya yang baru keluar dari laundry menjadi korban paling parah sekarang. Elan harus membawa karpet ini lagi agar dibersihkan dari virus-virus yang dijangkit oleh Abigail. Begitu pula dengan sofanya yang sudah penuh dengan tisu bekas.
Abigail mengambil tisu dari pangkuannya dan kembali membuang ingus dengan kencang. Bunyinya mengganggu telinga Elan jauh lebih parah dari suara cempreng cewek itu.
Mata Elan kini tertuju pada wajah Abigail. Warna merah di kulit pucat mengisi sebagian besar wajah Abigail. Helaian rambut ikalnya menempel di sekitaran wajahnya yang basah karena air mata. Namun, mau sebanyak apa pun Abigail menangis, cewek itu tidak pernah bisa puas. Seakan keran di kedua matanya bocor dan tidak berhenti mengucurkan air.
Wajah melas Abigail memancing rasa ibanya. "Kan gue udah bilang sama lo dari kemarin kalau dia nggak suka sama lo. Lo kan gitu, Bi. Dibilangin nggak bakalan denger, giliran beneran kejadian larinya ke sini. Tisu, disinfektan, kaos dan lain-lain habis tiap lo datang ke sini buat nangis. Nggak bisa apa lo datang ke sini pas lagi girang?
Abigail kembali membuang ingusnya sebelum menjawab. "Nggak bisa. Kalau gue mau senang-senang datangnya nggak ke sini."
Kan? Memang berengsek betul cewek satu ini, gerutu Elan dalam hatinya. Tangan kanannya menyapu wajah. Gabungan kesal karena Abigail tidak berhenti menangis dan juga kelaparan karena Abigail menggedor pintu apartemennya pagi-pagi dan membuatnya seratus persen sadar dengan tangisan yang dikeluarkan cewek itu.
"Gue bakal kasih tau orang lobi supaya nggak kasih lo masuk lagi."
"Coba bilangin. Gue sama Haris dekat, kok. Lagian gue punya kartu akses lift lo biarpun kunci pintu lo ganti," balas cewek itu dengan memeletkan lidah. Abigail menyebutkan nama salah seorang yang menjaga lobi apartemennya. Sering bolak-balik membuat cewek itu kenal dengan beberapa orang dan salah satunya Haris.
"Gimana dia nggak nurut sama lo kalau tiap datang lo bawain makanan."
"Terus gue harus gimana dong ini?" Abigail mengembalikan topik pembicaraan mereka ang melenceng. Padahal sudah sengaja ia tidak membahas hal itu dan berharap agar Abigail melupakannya begitu saja supaya Elan dapat sarapan.
Elan menjawab pertanyaan itu dengan lemah, tidak tahu lagi sudah berapa kali ia mengatakan kalimat yang sama. Dari semula bersemangat, lalu kesal dan sekarang pasrah jika harus mengulangnya lagi. "Lo nggak bisa ngapa-ngapain lagi, Bi. Hubungan kalian kelar, selesai, end."
Abigail tampak siap untuk menangis mendengar ucapan Elan, seakan itu kali pertama cowok itu mengatakannya. Padahal kalu bisa direkam dan diulang berkali-kali dengan sekali pencet saja, Elan akan dengan senang hati melakukannya agar dapat memastikan setiap kata terpatri di kepala yang ditutupi rambut ikal berwarna pirang itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Every Nook And Cranny [FIN]
Literatura Feminina[PART LENGKAP] May contain some mature convos and scenes Bagi Abigail Williams, El adalah tempatnya berkeluh kesah setelah diputus oleh para mantan pacarnya yang kurang ajar. Tempatnya meminjam kaos, sweater serta hoodie yang nyaman tanpa perlu di...