[PART LENGKAP]
May contain some mature convos and scenes
Bagi Abigail Williams, El adalah tempatnya berkeluh kesah setelah diputus oleh para mantan pacarnya yang kurang ajar. Tempatnya meminjam kaos, sweater serta hoodie yang nyaman tanpa perlu di...
Jangan lupa vote, komen dan follow akun WP ini + IG @akudadodado yaaw.
Thank you :)
🌟
Alis Frida berkerut, tampak tidak percaya sepenuhnya pada ucapan Elan.
"Beneran, Mi. Kita berdua nggak ngapa-ngapain! Suer!" timpal Abigail, "Ya masa di depan rumah, sih? Kayak nggak ada tempat lain aja."
Oh, betapa Elan ingin menenggelamkan Abigail dan mulutnya yang tidak bisa membedakan kapan harus bercanda itu sekarang juga. Melihat mata Frida yang sekarang jauh lebih besar dari sebelumnya, Elan cukup yakin kalau persidangan tidak akan selesai sampai di sini. Harusnya ia memang menyumpal mulut cewek di sebelahnya ini dengan batu bata sekalian.
"Jadi kamu beli apartemen tujuannya untuk itu?" pekik Frida, wajahnya memerah dan kata 'itu' diucapkannya dengan bergetar.
Elan menyerah dan memilih mendengarkan omelan Frida karena tahu apa pun yang dikatakannya sekarang tidak akan didengar. Elan menunggu hingga ia memiliki waktu berdua dengan ayahnya Abigail untuk menjelaskan. Setelah sesi omelan panjang yang disusul dengan makan siang setelah William protes kelaparan. Elan tidak peduli dengan Abigail yang diseret ke suatu tempat oleh kedua adiknya, toh nasibnya sendiri sama tidak bagusnya. Tapi setidaknya ia berhadapan dengan satu-satunya orang yang tenang di rumah ini.
Dengan secangkir teh jahe yang dibuat oleh Abigail, mereka berdua duduk di taman belakang. Biasanya ada papan catur yang selalu pria tua itu bawa dan mengajaknya bermain bersama. Tapi, kali ini William hanya memegang cangkir berwarna putih dengan corak abu-abu di tangan kanan serta saucer di tangan kiri.
Sesekali William menyeruput tehnya lalu diikuti dengan suara "Ahh" setelah cairan berwarna cokelat pekat itu melewati tenggorokan.
"Teh jahe bikinan Abi itu favoritnya om," kata William setelah seruputan ketiga, "mau Isi atau Gia bikin dengan takaran atau cara yang sama pun tetap aja rasanya beda. Mungkin dia kasih jampi-jampi sambil buat." Ucapannya disusul dengan kekehan yang menjalar pada Elan.
Ini bukan kali pertamanya Elan meminum teh jahe bikinin Abigail. Saat sakit kemarin pun Abigail sempat membuatkannya teh jahe sebelum pulang. Aroma apartemennya seperti jahe karena cewek itu membuatnya dalam jumlah banyak.
"Dia bikinnya tanpa gula. Ada rasa asam dari perasan lemon. Katanya buat hilangin rasa pahit jahe," William lanjut berbicara dan Elan hanya diam agar dapat mendengarkan, "dia tau Om suka ngeteh, tapi karena sudah umur jadi nggak bisa gula banyak-banyak. Kamu juga tahu lah kalau dia impulsif banget. Dia bisa malam-malam pulang kantor bawa treadmill, karena waktu itu Tante kabarin di grup keluarga kalau dokter bilang Om perlu olah raga yang ringan-ringan dulu karena cedera. Katanya kalau di luar rumah, nggak bisa dipantau Om jalan atau lari." Kekehan William terdengar di akhir kalimat panjangnya.
Elan sendiri kini linglung karena pembahasan ini makin lama makin terdengar seperti orang tua yang tengah siap melepaskan putrinya untuk orang lain. Kepalanya tidak dapat berpikir jernih lantaran dibebani dengan perasaan bersalah. Takut kalau pembicaraan ini baru pertama kali dilakukan oleh William karena mengira kebohongan Abigail benar-benar terjadi. Takut-takut Elan melihat ke arah ayah dari Abigail dan menemukan ada air yang menggenang di matanya yang sayu. William meletakkan cangkir dan saucer-nya di meja kecil.
"It never gets easier," William tersenyum, tangan kanannya menyeka sudut mata yang basah, "mau ini kali kedua bicarain hal ini. Namun, melepaskan anak untuk memulai hidupnya sendiri dengan orang lain tetap saja berat. Moreover, she is my first born. Anak yang menjadikan saya Papi dan yang mengajari saya banyak hal." Suara William bergetar, disusul dengan embusan napas berat yang membuatnya sadar kalau pria itu tengah sekuat tenaga untuk menahan tangisan.
Rasa bersalah kini tidak hanya memberati kedua punggung Elan, tetapi juga menguburnya hidup-hidup. Tenggorokan Elan tercekat dan seluruh persediaan kata-katanya sama seperti oksigen yang tiba-tiba saja direnggut paksa dari sekitarnya. Menyisakannya tanpa kata di sebelah pria tua yang sedang mencurahkan isi hati kepadanya. Bahkan untuk mengulang skenario yang dikatakannya tadi saja ia tidak sanggup. Namun, William tampaknya menangkap keraguan di matanya karena pria itu mengucapkan kalimat yang membuatnya tertegun.
"Om nggak tahu kalian akhirnya gimana, tapi om rasanya lega kalau Abi akhirnya sama kamu." Kedua sudut bibir William tertarik ke atas dan ucapan yang baru saja keluar dari mulutnya menjadi pukulan terakhir yang membuat Elan K.O.
Satu-satunya cara agar ia dapat kabur dari rasa bersalah ini adalah jika tiba-tiba bumi terbelah dan para setan menariknya masuk ke dalam panci berisi api yang menyala-nyala. Bersama dengan orang-orang yang membohongi orang tua baik hati yang menelan bulat-bulat kebohongan anaknya.
Elan menghabiskan tehnya dengan sekali tenggak karena tenggorokannya terasa lebih gersang dari musim kemarau. Keringat mengaliri dahi hingga ke lehernya, padahal siang ini matahari tengah bersembunyi di balik warna abu-abu yang menggantung di langit-langit. Kalau ia tidak mati karena rokok yang dikonsumsinya, Elan yakin kalau rasa bersalah atas kebohongan Abigail yang akan melakukannya.
Kalau kebohongan Abigail terungkap, apa yang akan terjadi dengan hubungannya dan sahabatnya itu? Ia tidak mungkin bertandang ke rumah ini lagi karena kehilangan muka sudah ikut andil dalam kebohongan yang dibuat oleh Abigail. Kalau pun ia berani datang ke sini, belum tentu orang tua Abigail sudah memaafkannya.
Elan menggigit bagian dalam pipinya kencang-kencang untuk menahan diri tidak menyumpahi Abigail dan mulut besarnya itu.
"Saya kebanyakan bicara, ya?" pria tua itu mengusik pikiran Elan yang sibuk dengan makian.
"Enggak kok, Om." Elan mengelap telapak tangannya ke jeans hitam yang dikenakannya. Tangannya tidak basah memang, tapi ia berharap kalau seluruh rasa bersalahnya berkumpul di sana dan dapat dilap dengan mudah. Sayangnya tidak seperti itu. Rasa bersalah bercokol di hatinya, mengendap bersama zat-zat rokok yang dihirupnya saat stres. Keduanya memiliki kesamaan, sama-sama akan membuatnya mati perlahan.
Rasanya Elan dapat menghabiskan satu bungkus rokok malam ini. Ia akan merokok seperti kereta api dan membuat apartemennya penuh dengan bau asap hingga beberapa hari ke depan.
William mengembuskan napas panjang lagi di sebelahnya. Wajahnya tidak lagi se-mellow tadi. "Intinya, sepanjang kalian bersama, saya titip Abi ke kamu. Kalian yang paling tahu apa yang terbaik untuk diri kalian sendiri."
"Iya, Om." Elan tidak lagi dapat memikirkan jawaban lain karena ia harus menahan lidahnya untuk tidak menyemburkan kejujuran yang tertahan. Elan tidak merasa itu adalah tempatnya untuk mengatakan kebohongan Abigail, meskipun melibatkannya. Elan harus tahu apa rencana Abigail selanjutnya dan seberapa lama kebohongan ini akan bertahan sebelum diakhiri. Dan yang paling penting, harus dengan cantik karena ia tidak ingin mengacaukan ekosistem kehidupannya yang sudah ada.
29/12/21
BTW yang mau baca cerita Jessica sudah tamat ya di judul The honeymoon Is Over (marriage life, romcom gemes). Cerita lain yang sudah tamat dan masih lengkap di WPku juga ada Every Nook and Cranny (fake dating metropop, bf to lover), Love OR Whatnot (marriage life angst), dan Rumpelgeist (romantasy)
Wkwkwkwkwkw Elan K.O
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.