Jangan lupa vote, komen dan follow akun WP ini + IG @akudadodado yaaw.Thank you :)
🌟
Udara yang segar, mata yang melihat warna hijau serta biru dari langit dan kolam renang seharusnya menenangkan hati Abigail. Namun, tidak ada satu pun dari warna-warna itu memenangkan perhatiannya yang sudah keburu diambil alih oleh ingatan keluarganya yang kegirangan karena Elan ikut ke acara kumpul-kumpul ini. Kegirangan bahkan bukan kata yang tepat menggambarkan ekspresi para tante dan sepupunya. Kata-kata seperti; "kan, gue bilang juga apa? Mereka nggak mungkin lama-lama jadi sahabat doang?", "mana ada sahabat cewek sama cowok? Pasti ada main hati." dan kalimat-kalimat lain yang membuat telinganya gatal.
Selama sepuluh tahun ini ia mengenal Elan, hubungan mereka baik-baik saja di batas sahabat. Sungguh, deh. Siapa pun yang bilang persahabatan di antara laki-laki dan perempuan itu tidak mungkin, pasti tidak pernah melihat hubungan platoniknya dan Elan. Ia sedikit sebal karena membuat para saudaranya itu merasa menang karena mengira hubungan mereka benar-benar terjadi, tapi apalagi yang bisa dilakukannya sekarang? Ini sudah kepalang tanggung.
Kalau ada yang bertanya bagaimana caranya ia dapat bertahan bertahun-tahun tanpa jatuh hati kepada Elan adalah karena mereka membatasi kontak fisik. Ulangi bersama-sama, batasi kontak fisik. Dulu Abigail sempat membaca artikel yang mengatakan kalau sentuhan itu dapat mengeluarkan hormon oksitosin. Hormon yang membentuk ikatan atau cinta. Studi lain juga mengatakan sentuhan membuat ketertarikan muncul. Maka Abigail mengambil kesimpulan kalau jika ingin bersahabat langgeng dengan lawan jenis kuncinya adalah kurangi kontak fisik.
Tidak bisa dipungkiri kalau baper adalah hal yang sulit untuk dihindari. Siapa yang mampu tidak merasa tertarik jika sedang menceritakan sesuatu dan lawan bicara memberikan gestur memperhatikan sambil sesekali menyender ke bahu atau memainkan jari? Siapa yang bisa bersembunyi dari perasaan yang membuncah ketika dipeluk oleh seseorang? Biar pun awalnya tidak memiliki rasa, lambat laun ketertarikan itu pasti akan muncul tanpa disadari. Berlindung dibalik kata sahabat lalu berakhir dengan patah hati karena tidak mau kehilangan. Atau skenario terburuknya adalah, bahagia sesaat karena bersama lalu kehilangan pacar dan sahabat di waktu yang bersamaan. Apa yang tersisa setelah itu? Mau cerita ke sahabat setelah pacar menghilang juga tidak bisa. Wong orangnya itu-itu juga.
Cerita ke teman lain juga hanya semakin memperparah kesedihan dengan pertanyaan, "kok bisa sih kalian putus?" ya, bisa lah. Namanya juga manusia. Memangnya ada hukum yang mewajibkan kalau sahabat yang menjadi pacar itu harus menikah?
Abigail duduk di balkon kamar hotel yang membuatnya merogoh kocek dalam-dalam. Tidak hanya ia membayar kamar hotelnya sendiri, tapi ia juga harus membayar kamar hotel Elan. Mana mungkin ia membiarkan cowok itu keluar uang setelah membantunya? Abigail masih cukup tahu diri. Kenapa juga keluarganya memilih kamar di tower ini, sih?
"Memang sepi dan jauh dari gerombolan lain, sih. Lebih tenang karena suara-suara dari sekitaran kamar nggak kedengaran, tapi ya dompet gue bolong juga." Abigail membuka aplikasi mobile banking, meratapi isi rekeningnya yang berkurang banyak. "Untung cuma sehari. Kalau enggak gue numpang tidur di kamar Bokap-Nyokap aja mendingan," sambungnya cemberut. Ternyata, selain menghabiskan energi, berbohong juga menguras rekeningnya. Isibel memilih untuk tidur dengan sepupu yang seumuran dengan adiknya itu, sehingga ia tidak memiliki teman untuk berbagi ongkos kamar. Sialan banget memang adiknya satu itu.
Abigail mematikan layar ponselnya. Dibanding meratapi nasib melihat angka yang terdebit di rekeningnya, lebih baik Abigail menikmati pemandangan Gunung Salak yang menjadi alasan koceknya terogoh. Langit yang cerah membuat gunung itu terlihat jelas tanpa ada awan yang menggantung di sekitarnya.
"Bi, gue mau ke resto. Lo mau ikutan nggak?" Elan muncul dari dalam kamarnya dengan kaos berwarna hitam, celana pendek dan sandal jepit. Membuat Abigail ingat hal lain yang membuatnya kesal hari ini.
"Mbak, ini kunci kamar lo dan ini kunci kamar Mas Elan," ujar Lina sambil mengangsurkan dua buah kartu padanya. Keluarga besar dari ibunya memiliki kebiasaan berlibur bersama untuk mengocok arisan. Biasanya salah satu dari pada anak yang kebagian mengurus penginapan dan merencanakan akan pergi ke mana. Kini, giliran Lina yang kedapatan sial. Mengurus keluarga besar dari sisi ibunya bukan perkara mudah. Selain harus berhadapan dengan sembilan orang tua yang banyak mau, Lina juga harus mancatat segala kemauan sepupunya yang berjumlah puluhan itu. Baru memikirkannya saja Abigail sudah pusing, jadi jangan harap ia mau menjadi panitia kumpul keluarga seperti sekarang. Lebih baik ia bagian bayar saat menerima surat cinta tagihan biaya perorang.
"Ngapain lo ketawa-ketawa nyeremin gitu?" tanyanya ngeri, "Lo nggak bikin gue nginep di kamar horor kan?"
"Nggak lah! You will thank me later," jawab adik sepupunya itu dengan senyuman lebar.
Abigail mengangkat satu alis lalu meninggalkan Lina dan buru-buru berjalan menuju kamarnya karena lelah mendengar tantenya yang menanyakan kapan menikah. Kan? Memang pertanyaan tidak akan pernah berhenti. Sewaktu menjomlo ia ditanya kapan memiliki pacar. Sesudah memiliki pacar, ia ditanya kapan menikah. Setelah menikah pun ia yakin akan ditanya kapan memiliki momongan. Sudah memiliki satu anak, ia yakin pertanyaan selanjutnya adalah kapan anak kedua? Kasihan lho anaknya sendirian kalau tunggal.
Abigail menggelengkan kepalanya sebelum membuka pintu kamar. Elan sendiri pergi dengan sepupu laki-lakinya. Entah ke mana. Ia tidak peduli. Abigail mendorong pintu kamar setelah menempelkan access card. Begitu masuk matanya langsung dimanjakan dengan pemandangan Gunung Salak serta pucuk-pucuk pohon yang berwarna hijau. Kontras dengan langit berwarna biru muda lantaran matahari sedang asyik memanggang bumi siang ini.
Begitu kakinya memasuki kamar, Abigail langsung dapat melihat round freestanding tub yang berada dekat dengan konter kamar mandi. Ukurannya besar dan Abigail tidak sabar untuk menggunakan bathbomb serta bubble bath yang dibawanya di sana. Karena mereka hanya semalam menginap di sini, Abigail hanya membawa duffle bag yang biasa dipakai ketika berolah raga. Tas itu sudah berada di atas meja dekat teve dan Abigail merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Untuk sesaat ia merasa tenang hingga menemukan penampakan yang ia yakini menjadi penyebab kenapa sepupunya tadi terkikik.
Selain pintu masuk, sisi samping tv kamarnya memiliki pintu juga dan ia yakin kalau itu adalah connecting door kamar Elan. Abigail menggeram dan menutup wajah dengan bantal untuk meredam teriakan.
"Bi, lo dengar gue nggak? Lo mau ikutan ke resto?" Elan bertanya lagi karena tidak mendengar jawaban dari Abigail. Cewek itu hanya menatap ke arahnya, seperti tengah sibuk dengan pikirannya sendiri lalu menghela napas panjang sebelum memberikan jawaban.
"Mau, deh. Gue juga nih yang bayarin makanan lo?"
Elan mengangguk, "Segala expenses yang keluar selama gue ikutan dikebohongan lo adalah tanggungan lo," jawabnya mantab.
2/1/22
Lebih nyebelin mana: Elan atau Abi?
BTW yang mau baca cerita Jessica sudah tamat ya di judul The honeymoon Is Over (marriage life, romcom gemes). Cerita lain yang sudah tamat dan masih lengkap di WPku juga ada Every Nook and Cranny (fake dating metropop, bf to lover), Love OR Whatnot (marriage life angst), dan Rumpelgeist (romantasy)
KAMU SEDANG MEMBACA
Every Nook And Cranny [FIN]
ChickLit[PART LENGKAP] May contain some mature convos and scenes Bagi Abigail Williams, El adalah tempatnya berkeluh kesah setelah diputus oleh para mantan pacarnya yang kurang ajar. Tempatnya meminjam kaos, sweater serta hoodie yang nyaman tanpa perlu di...