ENAC - 16. Desperate Times call For Desperate measures

7.3K 962 15
                                    


Jangan lupa vote, komen dan follow akun WP ini + IG @akudadodado yaaw.

Thank you :)

🌟


Elan memperhatikan ruangan yang berukuran kecil itu. Berbeda dengan apartemennya yang memiliki dua kamar dan ruang tengah yang cukup lega. Apartemen Abigail hanya satu kamar berukuran besar dan ruang tamu dan dapur yang cukup kecil. Dari sofa berwarna cokelat tempatnya duduk, Elan dapat dengan jelas melihat dari balkon kecil tempat Abigail menggantung pakaian setelah dicuci hingga ke dapur yang bentuknya memanjang.

Elan berdiri, mendekati dapur yang memiliki cahaya lebih banyak. Penasaran asal dari cahaya itu. Ada kaca transparan dan juga shower serta bathtub di sisi lain kaca. Apartemen Abigail yang berada di ujung membuat unit cewek itu memiliki dua jendela besar. Satu di ruang tengah hingga ke ruangan lain yang ia yakini kamar Abigail, lalu di sisi kamar Abigail hingga ke kamar mandi.

"Itu kacanya bisa buram, ya?" Elan bertanya begitu Abigail keluar dari dalam kamar dengan piyama dan muka tanpa riasan dan aroma buah-buahan yang menguar dari kulitnya. Sialan, pantas saja lama. Cewek itu mandi dulu.

"Iya, remotnya ada di dalam kamar mandi."

"Jadi orang kalau mau pipis harus lewatin kamar lo?"

Abigail membuka salah satu kabinet di dapurnya dan mengambil gelas, "Gue nggak ada rencana kasih orang pipis di apartemen gue, sih."

Apartemen Abigail sedikit berbeda dari bayangannya. Ia sempat mengira kalau apartemen cewek itu akan penuh dengan barang-barang milik, tapi unitnya jauh lebih bersih dan tidak banyak benda-benda. Semua peralatan elektronik di unit ini tersembunyi. Hanya kompor dan peralatan masak yang menggantung. Lalu di ruang tengah hanya sofa untuk dua orang saja serta lemari buku yang berisikan foto-foto. Unit Abigail benar-benar kosong dan tampak lega.

Warna temboknya putih dengan warna perabotan hitam dan cokelat. Kesan modern dan minimalis tampaknya diusung oleh Abigail untuk apartemennya.

"35 square meter ya?" tanyanya. Mata Elan tidak berhenti mengikuti gerakan Abigail yang kini membuka lemari berwarna putih, mendorongnya ke atas lalu dilipat hingga TV berwarna hitam keluar dari persembunyiannya.

"Iya, kecil 'kan? Makanya gue harus pinter-pinter ngaturnya supaya nggak penuh dan sumpek."

"No wonder duit lo habis, built in furniture gitu biasanya custom dan jauh lebih mahal," gumam Elan. "Lemari-lemari di kamar lo juga built in?"

"Iya, gue nggak punya space buat walk in closet. Nggak mau kelihatan sumpek juga di kamar dan nggak mau tutupin jendela."

Elan membuka pintu kamar Abigail dan mengintip dari sana, benar yang cewek itu katakan, selain ranjang, yang ada di sana hanyalah lemari di bagian belakang ranjang serta meja rias di sisi yang sama dengan pintu. "Jadi, ini rombak total?"

Abigail menggeleng, "Pembatas ruangannya masih sama, plumbing-nya juga. Perubahan major-nya di furniture aja."

Elan ikut duduk di sebelah Abigail yang kini sudah menyalakan teve dan menyetel serial yang juga diikutinya. "Baju-baju dan segala perabotan lo muat?"

Abigail memberikan cengiran, "Gue bikin banyak tempat penyimpanan di sini. Di bawah ranjang juga lemari-lemari buat simpan barang-barang. Jadi aman sentosa. Gue harus decluttering dikit, sih. Kasih ke Isi."

Elan masih sedikit takjub. Bayangannya ketika tiba di sini, apartemen itu akan berantakan dan tidak teratur. Memaksanya yang selalu rapi untuk membereskan sedikit, agar matanya tidak iritasi dan juga jiwanya terasa lebih tenang. Tapi, ingatan ulah Abigail di pesta tadi membuat Elan berdeham dan niatannya untuk mencincang cewek di sebelahnya kembali muncul.
"Lo kenapa bikin gara-gara lagi, sih?"

Raut tenang Abigail kini kembali keruh ketika topik yang sudah berusaha dihindarinya kembali diangkat oleh Elan. "In my defense, gue nggak bilang apa-apa. Gue niatannya juga cuma mau isengin tante-tante gue aja. Gue maunya mereka diam dan nggak bahas hal-hal kayak tadi, lo kan dengar sendiri gimana mereka hobi banget nyudutin gue."

Elan mengusap wajahnya kasar, tahu kalau Abigail sering kali disudutkan oleh para tante-tantenya karena masih belum menikah di umurnya yang sudah kepala tiga. Bahkan, dibanding-bandingkan dengan para sepupunya yang lain. Elan kasihan pada sahabatnya itu, tetapi tidak mau kalau ikut terseret semakin dalam.

"Lo kan bisa bilang saat itu juga, Bi."

Abigail meringis, "Gue nggak kepikiran, El."

Kekesalan Elan kini sudah setinggi langit-langit apartemen Abigail. Setiap kata yang melewati otaknya harus mendapatkan kurasi sebelum keluar dari mulut dalam bentuk makian. Elan mengatur napasnya perlahan dan mengembuskannya melalui mulut sebelum lanjut berbicara. "Lo tau kan Bi kalau satu kebohongan itu bakalan merembet ke kebohongan lainnya dan itu bakalan jadi snowball effect? Kalau lo bohong sekali, bakalan ada yang kedua dan seterusnya untuk tutupin kebohongan pertama, Bi."

Abigail mematikan suara teve, membiarkan suara Elan yang sarat dengan emosi tertahan menggaung di telinganya. Ia lebih memilih Elan yang marah-marah ketimbang cowok itu yang menegurnya dengan halus seperti sekarang. Karena Abigail jadi tidak tahu harus berbuat apa lantaran terbiasa seperti anjing dan kucing ketika bersama Elan.

"Bi, gue punya pacar. Gue nggak mau Tasya denger yang enggak-enggak soal kebohongan lo. Pokoknya, besok lo yang bilang ke nyokap atau gue yang ngaduin kebohongan lo. Lengkap dengan bumbu-bumbu yang bikin nyokap lo marah besar." Tuntutnya, Elan ogah diseret semakin jauh oleh Abigail karena kebohongannya.

"Bantuin gue dong, El." Abigail kini memasang wajah minta dikasihaninya. Abigail sama sekali tidak kepikiran soal Tasya saat ia berbohong tadi. Dadanya hanya dipenuhi amarah yang meletup-letup kepada tante-tantenya yang seenak hati memberikan ceramah mengenai jodoh. Ia sudah muak mendengarkan hal yang itu-itu saja setiap kumpul keluarga. Tapi kalau tidak datang, maka ibunya akan ditegur oleh para tante-tantenya. Nasib punya ibu anak bontot di keluarga besar.

"Gue nggak mau, Babi."

"Lo kan pernah gue bantuin buat bohong juga, El."

Alis Elan terangkat satu mendengar gerutuan Abigail, "Kapan? Gue nggak pernah se-desperate itu sampai harus bohong."

Dengusan kencang keluar dari Abigail, "Lo lupa sama mantan lo yang nguntitin lo ke mana-mana? Yang ngajakin balikan bolak-balik dan lo jadiin gue tameng supaya dia nggak deketin lo lagi. You said you owe me one."

Wajah Elan pias seketika. Ia ingat dengan kejadian tiga tahun lalu itu. Mantannya yang terobsesi dengannya dan baru mundur setelah ia mengatakan tengah serius dengan Abigail secara tidak sengaja. Abigail yang biasanya ogah dekat-dekat dengan para pacarnya pun harus bertemu dengan mantannya yang kekeh mau memastikan langsung pada sahabatnya itu.

"Desperate times call for desperate measures 'kan, El?" cibir Abigail menggunakan kalimat pembelaannya dulu.

22/12/21

BTW yang mau baca cerita Jessica sudah tamat ya di judul The honeymoon Is Over (marriage life, romcom gemes). Cerita lain yang sudah tamat dan masih lengkap di WPku juga ada Every Nook and Cranny (fake dating metropop, bf to lover), Love OR Whatnot (marriage life angst), dan Rumpelgeist (romantasy)

 Cerita lain yang sudah tamat dan masih lengkap di WPku juga ada Every Nook and Cranny (fake dating metropop, bf to lover), Love OR Whatnot (marriage life angst), dan Rumpelgeist (romantasy)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Every Nook And Cranny [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang