Jangan lupa vote, komen dan follow akun WP ini + IG @akudadodado yaaw.
Thank you :)🌟
Abigail mengeluarkan kemarahannya. Ia tidak peduli pada cewek yang berada di dalam kamar pacarnya karena seluruh hal ini berhubungan dengan pacarnya yang tidak bisa menahan untuk tidak mencelupkan bagian dari dirinya ke mana pun. Terlebih lagi, Abigail beberapa kali berbincang-bincang dengan Bianca melalui sambungan telepon dan Vian sama sekali tidak mengatakan apa pun. It would be nice if he gives her a heads up. Kayak bilang mau putus karena sudah punya pacar lain, misalnya. Setidakya ia akan menangis puas di kamarnya, alih-alih di tempat asing tanpa teman seperti sekarang.
Kepalanya tiba-tiba saja terasa sangat sakit seperti ada yang memukulkan palu di sana. Pandangannya mulai buram karena rasa sesak yang berasal dari dada kini merembet ke tenggorokan lalu bermuara di belakang bola matanya. Menimbulkan rasa perih yang menusuk.
Abigail memejamkan matanya karena tidak ingin melihat cowok itu dan mendatangi dapur lalu cerita ini berubah menjadi pembunuhan berdarah dingin dengan beberapa bagian tubuh yang termutilasi. "Ini sudah berapa lama?"
Vian tidak memberikan jawaban untuk pertanyaannya hingga Abigail mengulangi sampai tiga kali dengan nada yang semakin naik di tiap pengulangan yang membuat calon-mantan-pacarnya itu memundurkan tubuhnya dan memasang wajah ketakutan.
"Couple of months," bisikan Vian membuat tingkat kemurkaannya menyentuh langit-langit ruangan.
Abigail merasakan paru-parunya kehilangan oksigen dengan tiba-tiba karena dadanya dipenuhi dengan kemarahan yang membuatnya merasa menyia-nyiakan tiga tahun terakhir berpacaran dengan cowok ini.
Abigail menarik tasnya dan mengambil langkah seribu keluar dari sana. Menulikan telinganya dari panggilan Vian yang berusaha menjelaskan sesuatu padanya, tetapi apalagi memangnya yang mau dijelaskan? Semuanya sudah jelas dan Abigail tidak lagi memiliki energi untuk meributkan hal ini. Langkahnya semakin cepat ketika menuruni tangga dan keluar gedung apartemen yang tepat berada di samping kampus itu. Kalau perasaannya tidak seburuk sekarang, ditambah dengan tubuhnya yang lelah karena perjalanan panjang, mungkin ia memiliki waktu untuk melihat-lihat kampus itu barang sebentar atau mengambil foto untuk dimasukkan ke media sosialnya. Niat mulianya untuk membuat iri teman-teman kantornya yang bekerja di kantor hari ini tidak berjalan dengan lancar.
Daun-daun yang menguning dan berguguran tidak membantu untuk membuat perasaannya lebih baik, padahal ia sudah sangat lama menantikan saat ini. Pertama kalinya menjejakkan kaki di negara orang dan melawan rasa takutnya untuk bertemu dengan pacar yang sudah mirip seperti Bang Toyib karena tidak pulang-pulang. Alasannya karena sibuk kuliah, tau-taunya dia sibuk yang lain.
"Bukan ini apartemennya?"
Abigail baru ingat kalau ia masih memiliki koper satu lagi dan juga Elan yang menungguinya di sini setelah mendengar suara serak milik cowok itu.
"Bukan. Dia udah wafat," Abigail menyambar kopernya yang berada di sebelah Elan dan berjalan cepat. Menahan air mata agar tidak malu menangis di depan the good samaritan yang sudah cukup baik membantunya selama 24 jam terakhir.
Suara kaki yang melangkah cepat di belakangnya menyusul Abigail dan kini berada di sampingnya. "Lo nggak apa-apa?"
Abigail tidak menjawab karena mengeluarkan suara sekarang hanya akan berakhir dengan usaha isakan yang di tahannya di tenggorokan menjadi sia-sia. Matanya sudah digenangi dengan air. Abigail harus menahan keinginan mengedipkan mata, meskipun udara dingin membuat matanya perih.
Elan menyerah menggali perihal apa yang membuat cewek itu yang tadinya pergi dengan semangat 45, kini kembali dengan wajah mutung dan dilipat. Toh, setelah ini juga ia tidak akan bertemu lagi dengan Abigail. Elan bisa menikmati liburannya di Belanda dengan tenang sebelum kembali ke pekerjaannya di Jakarta. Namun, melihat Abigail yang tampaknya siap untuk terus berjalan ke maan pun tanpa tahu arah dan hanya mengandalkan kegalauannya itu membuat Elan mau tidak mau mengesah. Tersesat di negara orang dengan kelebihan buta arahnya itu hanya akan membuat Elan mengkhawatirkan Abigail sepanjang liburannya. Mencari tahu di kanal berita apakah ada informasi mengenai cewek hilang yang ditemukan mengapung di suatu bendungan atau tidak.
"Hotelnya di mana? Mau gue anterin nggak?" Pertanyaan Elan berhasil membuat kaki Abigail berhenti melangkah. Kedua tangannya yang menarik koper berhenti di samping tubuh cewek itu.
Elan dapat melihat nafas Abigail yang memburu dari bahunya yang naik turun dengan cepat. Rambut pirangnya yang sudah berantakan semenjak mereka turun dari pesawat tadi kini semakin kacau karena ditiup angin. Melihat Abigail yang tidak langsung memberikan reaksi atas pertanyaannya membuat Elan cukup yakin kalau cewek itu tidak tahu di mana letak hotel yang akan ditempatinya di sini.
Elan tidak mengerti bagaimana cewek di sebelahnya ini terus menerus mengejutkannya dengan hal-hal dasar yang seharusnya diketahui seseorang jika mau pergi berlibur sendiri, terlebih di negara orang lain. Elan semakin yakin kalau cewek itu ignorant, bukannya buta arah saja.
Ponsel disodorkan oleh Abigail ke hadapannya dan Elan melihat nama hotel yang cewek itu pesan lalu mencari lokasinya melalui ponsel miliknya sendiri. "Jaraknya dekat, sekitar 500 meter. Bisa jalan kaki." Mata Elan fokus pada ponsel dan jalanan sambil sesekali melihat ke belakang untuk memastikan Abigail mengekorinya.
Kaki Elan berhenti saat menemukan gedung berwarna putih dengan tiga lantai dengan plang nama hotel yang diberitahukan oleh Abigail tanpa suara tadi. Gedung-gedung tua dengan tiga lantai mengisi sepanjang jalan ini. Tidak ada gedung pencakar langit yang membuatnya pusing karena sesak dengan beton-beton yang mengimpit sekitarnya.
"Hotel lo, nih."
Abigail melihat ke arah gedung yang ditunjuk Elan dengan kepala. Kerongkongannya masih tercekat sehingga yang dapat dilakukannya hanya mengangguk sebagai ucapan terima kasih kemudian masuk ke dalam gedung hotelnya dengan tidak sabaran. Ia ingin cepat-cepat berada di dalam kamar lalu meluapkan kesedihannya yang kini sudah menggantikan amarah.
"Abi." Panggilan Elan membuat Abigail menoleh. Cowok itu mengeluarkan satu kartu dari dalam dompetnya dan menyodorkan pada Abigail. "Di sini ada nomor ponsel gue."
Abigail menerima kartu nama itu lalu masuk ke dalam hotel.
Elan masih berdiri sampai punggung yang mengenakan parka berwarna hijau lumut itu menghilang dari pandangannya. Tangan Elan menggaruk lehernya yang tidak gatal, melihat dari tingkah cewek itu setelah keluar dari apartemen tadi, ia cukup yakin kalau ada sesuatu yang terjadi di sana. Berhubung patah hati di negara orang lain sudah pernah dialaminya beberapa tahun yang lalu, Elan cukup berempati pada Abigail. Di saat galau-galaunya seperti sekarang justru tidak ada yang menemani. Belum lagi dengan ketakutan naik pesawat dan buta jalannya tapi berani mendatangi pacarnya.
"Gue mau balik hotel terus tidur," ucapnya pada diri sendiri dan memutus pandangannya dari tempat Abigail hilang.
8/12/21
Revisi tipo 16/3/22BTW yang mau baca cerita Jessica sudah tamat ya di judul The honeymoon Is Over (marriage life, romcom gemes). Cerita lain yang sudah tamat dan masih lengkap di WPku juga ada Every Nook and Cranny (fake dating metropop, bf to lover), Love OR Whatnot (marriage life angst), dan Rumpelgeist (romantasy)
KAMU SEDANG MEMBACA
Every Nook And Cranny [FIN]
ChickLit[PART LENGKAP] May contain some mature convos and scenes Bagi Abigail Williams, El adalah tempatnya berkeluh kesah setelah diputus oleh para mantan pacarnya yang kurang ajar. Tempatnya meminjam kaos, sweater serta hoodie yang nyaman tanpa perlu di...