25. Tamu istimewa
Suasana rumah kembali sepi. Orang tua David sudah pergi dua puluh menit yang lalu. Begitupun dengan David yang kembali ke kantornya. Naura tidak tahu di mana keberadaan Vano, dia pergi setelah acara penyambutannya. Hari semakin sore. Naura bersantai di kamarnya dengan suara musik yang menggema di seluruh penjuru kamar.
Kepalanya bergerak sesuai irama. Di tangannya terdapat buku novel tebal yang mengisahkan petualangan hobbit bersama delapan sahabatnya untuk menghancurkan cincin. Naura menikmati kemalasannya hari itu sebelum Lala datang dengan cara mendobrak pintu kamarnya, membuatnya terlonjak.
"Ada apa, La? Ngangetin Bunda aja," keluhnya pelan sambil mengubah posisi duduknya agar lebih nyaman. "Lala lapar?"
Lala menggeleng lalu bergerak untuk naik ke atas tempat tidur dan duduk di sebelah Naura. "Bunda lagi apa?" Ia menatap buku dipangkuan Naura. "Bukunya tebel banget kaya dompet Papa," katanya sebelum terkekeh.
Naura menahan diri untuk tidak memutar bola matanya. Entah apa yang diperbuat lelaki itu selama ia sakit. Ngomong ngomong tentang David, kelakuannya sedikit aneh setelah bicara dengan Jovan. Naura sedikit penasaran, namun tak berani menyuarakan rasa penasarannya.
"Bunda, Lala pengen sekolah. Kata Om Ayan, sekolah itu seru. Lala bakal punya teman baru. Lala juga pengen punya teman." Dia memainkan jemari tangannya.
Naura termenung, memang selama mereka pindah, Lala belum mendapatkan teman. Di daerah tempatnya tinggal, tak ada anak sepantaran Lala. Mungkin ini saatnya Lala masuk taman kanak-kanak.
"Boleh, nanti bunda cariin sekolah untuk Lala. Sekarang Lala mandi dulu, bau acem." Naura menjepit hidungnya dengan jari telunjuk dan ibu jarinya.
Lala melompat lompat di kasur dengan gembira. "Janji ya Bunda!" Lala berhenti melompat lalu menyodorkan jari kelingkingnya.
Naura mengaitkan jari kelingkingnya ke kelingking Lala. "Bunda janji."
"Makasih bunda! Lala sayang bunda banyak banyak!" Lala mengecup pipi Naura lalu turun dari tempat tidur. "Lala mau mandi dulu, bunda tunggu di sini."
Naura berkedip.
"Sekarang Lala udah bisa mandi sendiri. Bunda istirahat aja, jangan banyak bergerak. Nanti bunda kecapean," ucapnya sebelum berlari masuk ke kamar mandi.
Perasaan tak rela sekaligus haru melingkupinya. Ia masih belum menerima bahwa semakin hari Lala tumbuh. Sebentar lagi dia akan masuk Taman kanak-kanak, Sekolah Dasar, lalu sekolah menengah, Universitas, hingga suatu hari ia akan memiliki keluarga sendiri. Naura merasa berat untuk melepas putrinya yang lucu itu.
Suara bel rumah membuat lamunannya buyar. Ia berdiri dan keluar dari kamar. Naura merasa sedikit paranoid setelah kejadian hari itu.
Seseorang menerjang nya dengan pelukan erat. Saat Naura hendak membalas, pelukan itu terlepas. Mawar tersenyum lebar padanya. Kedua tangannya berada di pundak Naura. "Kamu apa kabar?" Ia kembali memeluk Naura. Kali ini Naura dengan cepat membalasnya. "Maaf aku baru bisa datang ke mari."
"Mawar? Wah, lama banget nggak ketemu! Ayo masuk!"
Mawar tersenyum lebar, berjalan masuk sambil merangkul pundak Naura. "Iya, Naura. Aku tahu, aku udah lama nggak mampir. Maaf ya, sibuk banget akhir-akhir ini.
Naura tertawa. "Iya, aku paham kok. Udah lama banget nggak denger kabar dari kamu. Bener-bener kangen, deh. Duduk, duduk! Kamu mau minum apa?
"Nggak usah, Aku hanya ingin ketemu kamu."
Naura merasa ada sesuatu yang aneh pada temannya itu. Semenjak ingatannya kembali, ia mengingat seluruh kenangannya bersama Mawar. Ia tahu jelas gerak-gerik juga kebiasaan Mawar ketika ditimpa masalah, maupun saat bahagia.
Naura duduk di sampingnya. "Ada apa, Mawar?"
Senyum Mawar surut, ia menghela napas. "Sejak aku pindah ke kota lain, rasanya hidupku jadi penuh perubahan. Mulai dari pekerjaan, hubungan, sampai kebiasaan sehari-hari. Semua terasa… berbeda. Tapi ya, kadang aku merasa makin jauh dari orang-orang yang dulu deket banget sama aku. Termasuk kamu, Naura."
"Mawar… kamu nggak usah merasa jauh. Walaupun kita jarang ketemu, kamu tetap teman dekat aku. Tapi, aku ngerti, pasti banyak hal yang kamu hadapi sendiri. Ceritain aja, apa yang bikin kamu ngerasa jauh?" Naura berkata dengan lembut.
Mawar melihat Naura dengan tatapan serius. "Aku merasa, belakangan ini aku sibuk banget mengejar hal-hal baru, sampe lupa gimana pentingnya waktu buat orang-orang yang aku sayang. Dan hubungan dengan suamiku juga jadi sedikit renggang. Aku nggak tahu, Naura. Tapi aku merasa kosong. Seperti… aku nggak tahu arah hidupku lagi."
Naura mendengarkan dengan seksama. "Itu wajar, Mawar. Kadang kita fokus banget sama satu hal, sampe lupa kalau ada hal-hal lain yang nggak kalah penting. Tapi kamu nggak sendiri, kan? Kalau kamu merasa kosong atau bingung, ya… jangan ragu buat berbagi pada suamimu, keluarga atau teman-teman yang bisa kamu percaya.
"Aku tahu, Naura. Tapi kadang aku merasa… aku terlalu jauh dari semuanya. Dari rumah, dari tempat yang dulu aku anggap aman. Meskipun aku merasa nyaman dengan kehadiran suamiku, tapi ternyata aku masih butuh orang-orang terdekatku."
Naura memegang tangan Mawar lembut. "Mawar, kita semua butuh tempat untuk pulang, kok. Nggak ada yang bisa ngadepin dunia sendirian. Mungkin kamu nggak tinggal di tempat yang sama lagi, tapi kamu masih punya rumah di hati orang-orang yang sayang sama kamu. Aku di sini, Mawar. Suamimu, teman-temanmu, keluargamu, kita semua ada buat kamu."
Mawar merasa air matanya mulai muncul. "Terima kasih, Naura. Aku bener-bener lupa gimana rasanya punya teman yang selalu siap mendengarkan keluh kesahku. Aku terlalu fokus sama semua yang aku kejar, sampe aku nggak sadar kalau yang paling penting itu ada di sekitar aku."
"Itu nggak masalah. Kadang kita memang perlu sedikit waktu buat menyadari hal-hal itu."
Mawar merengkuh tubuh Naura. "Aku beruntung banget punya teman sebaik kamu." Mawar melepas pelukannya. "Naura, sebenarnya... Aku hamil."
Mata Naura terbelalak. "Serius?"
Mawar mengangguk antusias namun tak lama senyumnya surut. "Sudah berjalan dua bulan. Tapi aku belum bisa ngomong ke suamiku."
Naura menutup mulutnya karena terkejut. "Wah, itu kabar besar, Mawar! Tapi... kenapa belum bilang? Kan itu suamimu."
"Susah, Naura. Hubungan kami kan lagi nggak baik. Rasanya seperti... aku nggak tahu gimana cara mulai ngomongnya. Dia lagi jauh banget, kita sering saling diam, dan aku nggak mau dia merasa terbebani dengan ini."
"Aku ngerti, pasti kamu merasa bingung dan takut kalau dia nggak siap atau malah makin menjauh. Tapi, Mawar, dia juga berhak tahu. Ini bukan cuma tentang kamu, tapi juga tentang anak kalian."
"Iya, aku tahu. Tapi aku takut kalau dia nggak akan terima. Kita sering banget ribut akhir-akhir ini, dan aku nggak mau semuanya jadi semakin buruk."
"Kamu nggak tahu reaksi suamimu kalau kamu nggak coba ngomong. Mungkin dia malah jadi terharu atau justru merasa lebih dekat sama kamu. Tapi kalau dibiarkan terus, kamu yang makin merasa terbebani. Kehamilan ini bisa jadi titik balik, Mawar."
Mawar menatap Naura sejenak. "Kamu yakin aku harus ngomong sekarang? Aku takut kalau dia nggak bisa nerima semuanya."
"Apa pun yang terjadi, kamu nggak akan bisa menghadapinya sendirian. Dan kalau suamimu memang peduli sama kamu, dia akan mencoba untuk memahami, apalagi kalau tahu ada sesuatu yang besar yang terjadi. Jangan biarkan rasa takut itu menghalangi kamu untuk jujur sama dia."
"Kamu benar, Naura. Terima kasih ya, sudah mendengarkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐁𝐔𝐍𝐃𝐀
Fantasy❝Apakah aku bisa menjadi ibu yang baik?❞ ❝Pukul dan maki saya sepuas kamu. Tapi saya mohon, jangan benci saya.❞ ©bininya_renmin, 2022