Aku pernah jadi skuad anak indie yang menggemari hujan, senja, dan kopi. Juga puisi, meski aku nggak paham-paham amat. Dulu saat masih kuliah dan aktif di klub teater, aku bisa membuat puisi sederhana. Sekarang? Jiwa senimanku sudah telanjur karatan dan nggak bisa melihat sisi romantis dari kehidupan yang dipenuhi oleh cicilan, tagihan, dan nyinyiran orang.
Dulu aku suka hujan. Kubilang dulu, karena dulu aku bisa menikmatinya dari sudut-sudut kafe. Jendela kaca yang berembun, suasana yang dingin, apalagi bila ditambah secangkir kopi dan musik-musik yang menemani.
Sekarang? Oh, jangan ditanya. Aku benci hujan, apa lagi jika turun di pagi hari, di jam kerja, di Jakarta. Pejuang KRL semakin menggila, berbanding lurus dengan air dan tanah becek yang ikut terangkut ke dalam KRL.
Hujan sudah mulai reda saat aku tiba di stasiun tujuanku: Stasiun Tanah Abang. Tinggal gerimis kecil-kecil saja. Namun, jika bicara tentang penumpang KRL di hari kerja, tentu tak bisa hanya sepotong-sepotong. Akibat hujan deras di pagi hari, penumpang menumpuk di stasiun Tanah Abang tanpa bisa pergi ke mana-mana. Tak mungkin naik ojek online, dan tarif taksi online pun terlihat mustahil untuk digapai. Alhasil, stasiun berubah menjadi stadion sepak bola menjelang final piala dunia.
Sudah setengah jam aku berdiri dengan kaki kesemutan sembari menatap layar ponselku dengan penuh nafsu dendam. Namun, pemandangannya tetap sama. Aplikasi transportasi online yang kugunakan masih menampilkan proses pencarian ojek online. Sudah begitu sejak 30 menit yang lalu, tak ada ojek yang mau menerima order-ku!
Kulirik jam tanganku dengan gelisah. Tinggal sepuluh menit lagi sebelum jam kantor tiba. Percuma aku tadi berangkat pagi-pagi untuk memberi kesan baik di hari pertama kerja. Faktanya, tak mungkin aku datang tepat waktu. Apalagi jika menunggu ojek online menerima order-ku. Yang ada aku baru sampai kantor besok pagi.
Kurogoh dompet dari dalam tas. Kulihat, masih ada lembar terakhir seratus ribuan di sana. Juga ada pecahan berjumlah 50 ribu rupiah. Sepertinya aku tak punya pilihan. Kumasukkan dompet ke dalam tas, lalu aku berlari-lari kecil meninggalkan lobi stasiun, menuju pertigaan tempat para penjual-penjual mulai menggelar dagangan yang sempat tertunda karena hujan.
Harus kurelakan jatah makan siangku hari ini untuk membayar tarif ojek pengkolan, atau aku mungkin akan kehilangan pekerjaan yang baru saja kudapatkan, setelah lebih dari setahun jadi pengangguran dan minim pemasukan.
***
Apa yang lebih buruk dari datang ke kantor dengan penampilan berantakan? Pertama-tama, aku harus mengucapkan selamat tinggal pada setelan warna krem yang terdiri dari celana bahan, kemeja putih, dan blazer. Semuanya kini jadi bermotif batik abstrak, akibat cipratan lumpur dan air hujan di sepanjang jalan dari stasiun tadi. Hujan turun lagi saat aku berada di atas ojek. Pengemudinya menawariku jas hujan. Yap, jas hujan plastik supertipis dengan lubang di banyak sisi.
Rambut keritingku semakin megar tak karuan, dan kitten heels yang kugunakan lembap karena pengemudi ojek yang mengantarku sangat sembrono hingga menceburkan kami berdua dalam lubang jalan yang tergenang. Alhasil, sepatu dan celana panjang bagian bawaku basah sebasah-basahnya.
Namun, itu belum yang paling parah. Aku tiba di kantor pukul 09.10. Terlambat sepuluh menit di hari pertamaku masuk kerja, dengan kostum yang tak bisa dibilang pantas. Bukan, bukan hanya karena penampilanku ambruladul (bolehkah aku menyalahkan hujan lagi?), melainkan karena aku salah kostum. Yup. Salah kostum.
Sementara aku berusaha berpakaian rapi dengan setelan dan kitten heels, orang-orang yang kutemui di kantor justru memakai kaus, celana kargo, dan sandal jepit. Hanya satu orang yang memakai kemeja, yaitu Mas Danu, bagian HRD yang menyambutku saat aku datang. Itu juga kemeja lengan pendek berbahan lentur dengan motif banana. Macam sedang liburan di Hawaii.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang Kuingat Darimu dan Hari-Hari Lalu
ChickLitPandemi benar-benar mengubah hidup Eva. Berawal dari kantornya yang gulung tikar dan berujung PHK besar-besaran, Eva kini seorang pengangguran dengan beban seorang Ibu yang nggak mau tahu situasi dan kesulitan ekonominya. Setahun lebih Eva menganggu...