Ternyata waktu mampu mengubah banyak hal.
Yangti meninggal ketika usiaku 22 tahun. Saat itu, aku sedang berjuang menyelesaikan kuliah disambi kerja serabutan sana-sini. Seringnya aku hanya tinggal berdua dengan Yangti di rumah, karena Mama sudah sibuk kelayapan sendiri. Setelah Yangti meninggal, Mama menjual rumah Yangti untuk modal usaha persewaan motor—yang kemudian hanya bertahan dua tahun saja. Kebetulan saat itu aku juga sudah berhasil lulus kuliah dan bekerja sebagai admin di sebuah agen pengiriman sehingga aku mampu menyewa sebuah kos-kosan sederhana sebagai tempat tinggal. Setahun kemudian, aku dapat panggilan kerja di Jakarta, dan sejak saat itulah aku meninggalkan kota kelahiranku.
Jogja banyak berubah dari sisa-sisa kenangan yang kuingat. Nggak heran, sudah lebih dari tujuh tahun aku nggak menginjakkan kaki di kota gudeg ini.
Perubahan pertama sudah terasa sejak kami tiba di Stasiun Tugu. Sekarang ada sebuah terowongan menghubungkan peron selatan dan utara stasiun. Terowongan itu sangat artsy, dengan penerangan yang hangat dan berbagai karya seni serta sejarah kota Yogyakarta yang terpajang di sepanjang dindingnya, memanjakan mata para pelintas terutama yang nggak sedang diburu-buru waktu.
Perubahan kedua adalah alun-alun utara. Jika dulu tempat itu banyak dijadikan tempat main dan nongkrong—meski nggak seramai alun-alun selatan—kini terdapat pagar kawat tinggi di sekeliling alun-alun yang dipenuhi dengan pasir.
Lalu lintas jelas jauh lebih padat dari yang kuingat. Benny sempat terheran-heran karena kena macet cukup parah di sepanjang Gejayan.
"Emang dulu semacet ini?" tanya Benny berulang-ulang. "Padahal aku udah ngarep bisa nyetir santai selama di Jogja."
Kekagetan Benny nggak cuma soal kemacetan lalu lintas, tapi juga karena banyak tempat-tempat yang ingin dia datangi yang ternyata sudah tutup. Tempat-tempat yang dulu sering jadi tempat kami nongkrong dan ngobrol sampai malam—terutama ketika aku sedang malas pulang—ternyata sudah berganti plang.
"Ah, padahal dulu lumayan sering nongkrong di kafe yang di atas toko buku itu. Sayang banget udah tutup."
Yah ... apa yang bisa diharapkan? Kota berubah seiring kami yang juga semakin menua.
"Kamu pengin ke mana dulu?" tanya Benny, sambil mengetuk-ngetukkan jari ke stir mobil sewaan. "Masih ada waktu, nih, sebelum kita harus jalan ke gedung pentas."
Jangan terlalu visioner. Ini bukan honeymoon. Ini sekadar liburan colongan di akhir pekan. Benny dengan random-nya mengajakku jalan-jalan ke Jogja, sekalian untuk menonton pertunjukkan teater komunitas Marcopolo. Kami berangkat Jumat malam dan tiba Sabtu pagi. Benny menyewa mobil tanpa driver supaya mobilisasi mudah dan kami bisa bebas jalan-jalan sambil menunggu waktu pertunjukkan teater.
"Mau lihat rumah lamamu nggak?"
Aku berdecak. "Apanya yang mau dilihat?"
Benny meringis. "Terlalu banyak kenangan buruk, ya?"
"Nggak juga sih, tapi rumah itu kan bukti kalau aku nggak punya siapa pun."
"Nggak punya siapa pun? How dare you! Kamu kan punya aku?" protes Benny sebelum tertawa. Lalu pria itu mengulurkan tangan kirinya untuk mengusap kepalaku. "Kamu punya aku, aku punya kamu. That's perfect, no?"
Aku nyengir senang. "Sure."
Itu saja sudah cukup. Lebih dari cukup.
Karena bingung harus ke mana yang nggak menghabiskan banyak waktu, kami memutuskan untuk makan ayam geprek legendaris yang dulu kami datangi setelah mengambil motor di Amplaz. Sama seperti sebelumnya, warung ayam geprek itu sangat ramai. Mobil-mobil diparkir berderet, sangat kontras dengan tampilan warung yang sangat sederhana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang Kuingat Darimu dan Hari-Hari Lalu
ChickLitPandemi benar-benar mengubah hidup Eva. Berawal dari kantornya yang gulung tikar dan berujung PHK besar-besaran, Eva kini seorang pengangguran dengan beban seorang Ibu yang nggak mau tahu situasi dan kesulitan ekonominya. Setahun lebih Eva menganggu...