Genggam Tangan

17.7K 3.4K 349
                                    

Kuhitung satu sampai lima, sembari menatap lekat-lekat pintu cokelat itu. Pada hitungan kelima itu, semestinya aku memberanikan diri menyentuh gagang besinya. Alih-alih, aku malah mulai berhitung lagi dari awal. Hal ini sudah berulang mungkin lima atau enam kali.

Kuhela napas panjang-panjang.

Sabtu pagi, aku kehabisan sabun dan sampo. Peralatan mandi yang Bude Mara siapkan di kamar itu, serta peralatan mandiku yang Benny ambilkan di rumah, semuanya sudah tandas. Bahkan sudah dua hari ini aku keramas dengan sabun, akibatnya rambutku semakin kasar dan kering.

Jika nggak mau hal itu terus-terusan terjadi, aku harus segera belanja kebutuhan sehari-hari. Apalagi ini sudah mendekati akhir bulan. Tanggal-tanggal tamu bulananku datang sudah dekat. Jelas ini situasi yang gawat. Aku harus segera ke minimarket untuk belanja.

Bisa saja aku minta kepada Bude Mara. Aku yakin beliau akan memberikan apa yang kubutuhkan dengan senang hati. Sayangnya, aku nggak sanggup melakukan hal itu. Keberadaanku di sini saja sudah jadi beban. Masa aku harus membebani Bude Mara dengan kebutuhan-kebutuhan pribadiku juga?

Aku sempat berpikir untuk memanfaatkan layanan belanja online. Nanti paketnya tinggal ditaruh di depan rumah, atau aku bisa minta tolong Lik Nah untuk mengambilkannya untukku. Sehingga, aku nggak harus bertemu siapa pun. Namun, setelah kupikir-pikir, aku nggak bisa begini selamanya. Sampai kapan aku bisa bersembunyi di rumah ini? Aku bukan seorang putri raja yang semua kebutuhannya sudah dipenuhi orang lain. Satu-satunya orang yang bisa kuandalkan adalah diriku sendiri. Aku nggak bisa bergantung pada Bude Mara terus. Lagi pula, aku harus segera ke kantor kalau nggak mau cepat dipecat. Jadi, bagaimanapun caranya, aku harus bisa melewati pintu itu.

Kutarik napas panjang sekali lagi. Aku mulai berhitung lagi, dan berjanji itu yang terakhir.

Pada hitungan kelima, dan helaan napas entah yang keberapa kalinya, kuulurkan tangan untuk meraih handel pintu. Tiga detik kemudian aku menariknya, dan aku terkejut karena pintu itu terbuka dengan kecepatan yang terlalu tinggi. Nyaris mengenai tubuhku, jika saja aku nggak gesit menghindar. Namun, tetap saja bagian bawah pintu mengenai jampol kakiku, membuatku memekik.

"Eh, maaf!" kata Benny, yang menyembul muncul dari pintu, sama-sama terkejut. "Maaf ... lho? Eva? Eh, sori-sori. Kena nggak? Aduh, kena, ya?"

Aku yang sempat terpincang-pincang berdiri dengan satu kaki, kini terhuyung-huyung menyeimbangkan diri sembari meringis kesakitan.

"Kaki? Yang kena kaki?"

Aku mengangguk. Di depanku, Benny berjongkok memeriksa ujung jempolku. Meski nggak berdarah, perihnya terasa sampai ke tulang.

"Nggak ada luka, tapi aku curiga bakalan memar," lapor Benny. "Sori, ya, aku nggak ngira kalau ada orang di balik pintu," katanya sembari berdiri.

Aku mengangguk. Jempolku masih nyut-nyutan, tetapi perihnya sudah cukup berkurang. Bagaimanapun, ini bukan salah Benny juga, sih.

"Nanti kalau memar dikompres pake air dingin, ya," saran Benny. Aku mengangguk. "Bude Mara di mana, Ev?"

"Lagi senam sama ibu-ibu komplek," infoku pada Benny. "Nggak tahu di mana."

Benny ber-oh pendek. Aku pun kembali ke niat awalku untuk pergi ke minimarket.

"Mau ke mana, Ev?" tanya Benny cepat.

"Beli sampo. Di dekat sini ada minimarket, kan?"

Sebenarnya aku sudah sempat memeriksa di Google Maps. Ada minimarket sekitar 700 meter dari rumag Bude Mara. Aku hanya harus keluar dari komplek perumahan, dan berjalan sejauh 400 meter.

"Ada, sih. Kenapa nggak minta tolong ke Lik Nah aja?" tanya Benny.

"Nggak enak, Lik Nah lagi sibuk beberes rumah."

Yang Kuingat Darimu dan Hari-Hari LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang