Sore di Atap

15.5K 2.2K 265
                                    

Pepper spray, check. Pen setrum, check. Personal alarm, check. Baton brick, check.

Aku menghela napas lega dan tenang karena seluruh perlengkapan perangku sudah lengkap. Dengan begini, meski kecemasan masih saja muncul setiap kali hendak keluar rumah, aku tahu ada sesuatu yang bisa kujadikan senjata. Aku nggak lemah dan nggak berdaya. Aku bisa melakukan sesuatu.

Sejak nekat mendatangi Benny ke apartemennya kapan itu, keberanianku muncul dan semakin besar. Aku memang masih belum berani naik angkot, KRL, atau moda transportasi massal lainnya, tetapi aku nggak keberatan naik ojek online. Setiap pagi, aku meluangkan waktu 10 menit untuk mempersiapkan diri. Menarik napas panjang, lalu buang, ulangi sampai dirasa cukup, sebelum keluar rumah untuk menemui driver ojek online yang kupesan. Aku akan duduk di ujung boncengan dan meletakkan ransel yang besar di antara aku dan driver. Dalam pikiran, kuyakinkan bahwa jika driver itu berniat jahat, aku akan menyetrum lehernya dengan pen setrum, lalu kami akan mati bersama karena kecelakaan.

Agak tragis, tapi setidaknya hal itu berhasil dan seminggu ini semua berjalan lancar. Aku mulai terbiasa pulang pergi ke kantor, tanpa merepotkan Benny lagi.

Tentu saja itu kabar yang luar biasa baik. Aku mensyukurinya, sama besar dengan rasa syukurku berhasil selamat dari kejadian-kejadian buruk itu. Namun, di sisi lain, aku juga jengkel dan juga takut setiap kali mengingat apa pemicu keberanianku. Apa yang mampu membuatku melampau batas-batasku, mengatasi segala rasa takut, dan yang mengembalikan kekuatanku.

Benny. Itu semua karena Benny. Aku bersyukur karena kondisiku membaik, tetapi aku juga takut dengan fakta tentang betapa besarnya dampak Benny dalam hidupku.

"Morning, Ev," sapa Benny, saat aku tiba di kantor. Dia sedang berdiri di depan pintu waktu aku turun dari ojol-entah dia juga baru datang atau memang sengaja menungguku. Separuh wajahnya nggak kelihatan karena masker, tapi aku tahu dia sedang tersenyum lebar mengkhawatirkan.

"Pagi, Kak."

"Semuanya baik-Ev! Kok lari-lari, sih? Awas jatuh!"

"Eh, maaf, Kak! Aku kebelet! Udah nahan dari tadi. Sori-sori!"

Aku bergegas menaiki tangga ke lantai dua tanpa menoleh lagi. Setelah menaruh ranselku di kubikel, aku buru-buru kabur ke toilet hanya untuk mendekam di sana tanpa melakukan apa-apa. Hanya menatap pintu toilet perempuan yang tertutup rapat, aku menghela napas panjang.

Setelah berdiam diri lima menit, aku keluar dari toilet dan menuju kubikelku sendiri. Jelas aja Benny sudah nggak terlihat di mana pun. Dia pasti sudah bablas ke lantai tiga. Buru-buru aku membuka laptop, karena aku nggak boleh buang-buang waktu. Pertama, ada banyak hal yang harus kukerjakan untuk mengejar ketertinggalan agar VIP Room bisa launching tepat waktu dua minggu lagu-meeting bersama pukul 11 nanti dan banyak yang perlu kusiapkan. Kedua, aku harus kerja efektif supaya bisa pulang tepat waktu pukul 5 sore nanti, tepatnya sebelum Benny turun dari lantai 3. Kalau beruntung, aku bisa bareng Ruri sampai rumah Bude Mara. Kalau kurang beruntung, aku harus naik ojol sebelum gelap.

Pukul 11 tepat, aku masuk ke ruang meeting dan menunggu partisipan yang lain. Nggak menunggu lama, ruang meeting segera terisi penuh. Kali ini selain meeting rutin mingguan, juga meeting persiapan launching. Jadi, selain aku, Benny, dan Petra, juga ada beberapa panitia launching, tim finance, HRD, dan lain-lain. Petra dan Benny datang paling akhir, turun dari lantai tiga sambil berdiskusi tentang sesuatu. Ruangan meeting kecil jadi terasa penuh sesak, sehingga mau nggak mau aku harus duduk berdempetan dengan yang lain.

Meeting berjalan dengan efektif selama 45 menit. Semuanya aman, lancar, dan terkendali. Hanya tinggal beberapa checklist saja yang perlu kupastikan. Selebihnya, jika semua tetap selancar ini, acara launching WeTimes VIP Room tiga minggu lagi bisa digelar.

Yang Kuingat Darimu dan Hari-Hari LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang