Gotcha!

28.5K 5.3K 774
                                    

Aria Airlangga Benaya.

Sial.

Kenapa aku bisa lupa nama lengkap si berengsek itu? Pantas saja semua orang di sini memanggilnya Pak Aria. Suku kata pertama memang lebih umum digunakan sebagai nama panggilan sehari-hari. Dan mungkin hanya aku yang mengenalnya sebagai Benny, singkatan sok akrab dari nama belakangnya, Benaya.

Pertanyaannya, kenapa Benny ada di sini? Ah, oke. Pertanyaan yang sangat bodoh. Yogyakarta dan Jakarta bukan tempat yang dipisahkan oleh planet lain. Bukan hal yang aneh jika Benny bekerja di Jakarta setelah lulus kuliah di Yogyakarta, sama sepertiku. Lagi pula, seingatku Benny nemang memang berasal dari Jakarta. Malah aku yang asli Yogyakarta.

Yang paling kusesali, kenapa aku nggak menyempatkan diri untuk Googling dulu tentang struktur kepegawaian di Wetimes? Bisa-bisanya aku seceroboh itu mengabaikan pengetahuan dasar para pencari kerja? Padahal, aku bisa memanfaatkan jejaring perusahaan di LinkedIn. Semua informasi tersedia di sana. Kenapa juga dulu Benny itu nggak ikut meng-interview-ku, sehingga aku bisa menjadikannya bahan pertimbangan saat mendapat offering dari Mas Danu?

Singkatnya, aku terjebak.

Haruskah aku resign sebelum hari-hariku jadi berantakan lagi? Wut? Resign di hari pertama? Setelah kena PHK dan setahunan nggak kerja? Setelah berbulan-bulan punya minim rupiah pendapatan?

Memangnya aku sudah gila apa?

Ah, sudahlah! Aku nggak perlu bersikap kekanak-kanakan. Menyia-nyiakan pekerjaan yang susah payah didapatkan hanya karena cowok berengsek seperti Benaya. Nope. Aku memang miskin, tapi aku nggak bodoh. Lagi pula, sekarang ini masalah hati harus kukesampingkan. Yang lebih urgen adalah masalah perut yang kelaparan.

Yah ... setidaknya, pandemi Covid-19 membuat penggunaan masker sepanjang hari menjadi wajar, dan bahkan sebuah keharusan. Jadi, aku hanya perlu selalu memakai maskerku dan bisa mempertahankan argumen "Maaf, Pak Aria salah orang" selamanya. Kan nggak mungkin Benny memaksa mencopot maskerku, kalau dia nggak mau dilaporkan dengan alasan penyerangan. Nggak akan sulit, karena hanya makan dan minum yang mengharuskanku buka masker, dan itu semua bisa kulakukan di pantri untuk menghindari Benny.

Yup. Seperti yang kulakukan saat ini. Toh, di jam istirahat orang-orang pada keluar kantor untuk makan siang. Sementara aku memilih untuk makan camilan yang disediakan kantor di pantri. Uang makan siangku sudah dibawa tukang ojek pengkolan, remember? Aku harus hemat, setidaknya sampai gajian.

Ha! Mari kita lihat seberapa lama keberuntungan itu ada di pihakku. Aku anak baik-baik, pasti Tuhan sayang padaku.

"Halo."

Suara itu!

Sontak aku balik badan dengan cepat membelakangi asal suara yang dari pintu pantri. Popcorn yang kumakan berhamburan, tapi itu nanti saja. Aku harus segera memasang masker yang tadi kubuka untuk makan. Setelah kupastikan maskerku terpasang dengan benar, aku berbalik. Benny tengah menatapku heran sembari membuka kulkas.

"Eh, Pak Aria," sapaku berusaha ramah. Senyumku di balik masker sangatlah lebar.

"Kenapa kamu?" tanyanya, lalu menunduk mencari-cari sesuatu di dalam kulkas.

Aku nyengir. "Nggak apa-apa, Pak."

Tak lama kemudian, Benny menegakkan tubuhnya dan menutup pintu kulkas. Di tangannya ada tumbler bening yang sepertinya berisi jus jeruk.

Kuharap dia segera berlalu, tapi Benny malah berdiri menyandar santai ke meja pantri dan membuka maskernya untuk minum.

"Kok nggak makan siang bareng yang lain?" tanyanya, sebelum menegak jus jeruknya dengan gestur percaya diri--alias sok keren.

Yang Kuingat Darimu dan Hari-Hari LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang