Terlahir Kembali

11.7K 2.2K 357
                                    

Kadang-kadang hidup itu lucu.

Setelah penolakannya bertahun-tahun lalu, nggak pernah sekali pun aku memikirkan akan bertemu lagi dengan Benny di kehidupan ini—atau kehidupan selanjutnya. Saat itu, aku terlalu patah hati sekaligus terlalu sibuk bertahan hidup untuk memikirkan soal patah hati itu. Nama Benny kumasukkan dalam kotak kenangan. Sesekali memang menyelinap di mimpi atau ingatan, tapi nggak ada intensi khusus untuk sebuah pertemuan.

Jadi, ketika Benny muncul lagi di depan mataku hari itu, aku jadi penasaran apa yang semesta rencanakan untukku. Lantas, setelah waktu berlalu dengan berbagai kejadian, aku mulai memahami makna kehadiran kedua Benny dalam hidupku. Bahkan, aku nggak mampu lagi membayangkan hidupku tanpa ada Benny di dalamnya.

Betapa melankolis pikiranku saat ini. Betapa konyol. Betapa nggak tahu diri.

"Kok malem banget pulangnya?" tanya Benny.

Jika jalanan komplek sepi, taman komplek lumayan meriah hari ini. Ada beberapa pasangan muda-mudi yang sedang kencan, anak-anak kecil yang membeli jajanan di pedagang kaki lima. Taman komplek di sini memang terawat dengan baik. Tanamannya subur, lingkungannya bersih, dan lampu-lampunya cukup meriah serta instagramable. Nggak heran banyak yang menghabiskan waktu santai di sana.

Beruntung kami menemukan satu bangku kosong di pinggir jalan. Kami pun duduk di sana, dan Benny membeli dua botol air mineral dari pedagang kaki lima nggak jauh tempat kami duduk.

"Ngelarin report tadi," jawabku berbohong. "Kirain tadi Kak Benny bakal balik ke kantor lagi."

"Jalanan bikin senewen. Macet parah! Biasalah, tanggal muda. Pada kelayapan semua."

"Kok Kak Benny nggak ikut kelayapan juga?"

"Ini hari Senin, ya Tuhan. Batrei udah habis buat kerja seharian tadi. Ini udah waktunya di-charge banget. Heran, orang-orang kapasitas batreinya pada gede-gede amat."

Aku tersenyum tipis menyadari betapa menyenangkannya obrolan dengan pria ini. Pembawaan Benny selalu positif dan menyenangkan. Dia mudah membuat orang lain betah. Dan aku nggak lagi terkejut menyadari betapa kehilangan momen-momen seperti ini belakangan. Betapa aku merindukannya.

"Aku itu pengin cerita dari kemarin-kemarin," kata Benny tiba-tiba membelokkan topik. "Tapi bingung gimana mulainya."

Aku mendongak sebentar menatapnya, lalu kembali memalingkan wajah menatap lampu taman yang bersinar kekuningan.

"Soal tawaran kerja di Singapura?" tembakku "Aku udah dengar dari Bude," responsku.

Pria itu mengangguk, nggak terkejut karena aku sudah tahu. Mungkin Bude juga sudah cerita kepadanya tentang obrolan kami waktu itu. "Iya, soal itu. Sebenarnya itu udah lama tawarannya. Mantan bosku di kantor sebelumnya pindah ke sana awal tahun 2018." Benny memutar-mutar botol air mineral di tangannya. "Aku ditawari sejak awal 2021 kemarin, tapi kan pandemi lagi serem-seremnya. Ditambah lagi, aku juga agak berat ninggalin Bude sendirian di Jakarta."

Aku nggak merespons. Kubiarkan dulu Benny menceritakan apa pun yang ingin dia ceritakan.

"Nah, kemarin waktu ke Singapura, kami sempat ketemuan. Dia tahu kalau aku udah selesai S2, technically. Dia bilang, tawaran itu masih berlaku. Akan lebih baik kalau aku bisa langsung gabung setelah beres wisuda."

"Kak Benny terima tawarannya?" tanyaku nggak sabar.

Benny nggak segera menjawab. Cowok itu sempat menggaruk dahinya dan memasang ekspresi gamang.

"Aku ... well ... belakangan mikir, kayaknya itu bukan tawaran yang buruk."

Hatiku terasa kebas.

Yang Kuingat Darimu dan Hari-Hari LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang