Kebencian yang Menakutkan

21.1K 4K 232
                                    

Sehari setelah mulai bekerja dengan Benny, aku terbangun dengan aroma gurih yang merasuk ke sela-sela pintu kamarku.

Aku terduduk cukup lama, membuat banyak pertimbangan dalam diriku. Ada setitik rasa nggak pantas yang muncul, mengingat aku belum banyak bicara dengan Bude Mara. Bagaimana bisa aku menumpang di rumah orang dan terus-terusan mengurung diri di kamar? Lagi pula ... aku harus segera keluar. Aku yakin aku bisa. Buktinya, kemarin aku bisa keluar kamar dan kembali dengan selamat.

Setelah berhasil meyakinkan diri, aku beranjak untuk cuci muka di kamar mandi. Kutatap pantulan diriku di cermin, dan gambaran yang kudapatkan sangat menyedihkan. Wajahku kuyu dan ada lingkaran hitam di sekitar mataku. Aku merasa sudah sedikit bisa berdamai dengan ketakutan, tetapi nyatanya kejadian itu memang meninggalkan bekas.

Buru-buru kutepis pikiranku dari ingatan-ingatan mengerikan. Sebagai gantinya, aku mulai menyisir rambutku yang sangat kusut, sampai aku takut gigi-gigi sisir ini akan patah. Untungnya, sepuluh menit kemudian aku berhasil mengikat rambutku dan membuat penampilanku sedikit lebih manusiawi. Mau nggak mau, aku mulai berpikir, penampilan seperti apa yang kubawa waktu menemui Benny kemarin?

Lagi-lagi aku menepis pikiran unfaedah itu. Agar nggak terjebak dalam pikiran-pikiran lain yang mengganggu, aku segera keluar dari kamar. Aku sempat bingung harus ke mana, karena aku belum benar-benar menjelajahi rumah ini. Namun, kuikuti aroma gurih yang tercium, hingga aku menemukan dapur di bagian belakang rumah. Di sana, Bude Mara tengah sibuk memetik-metik sayuran sementara bunyi samar air direbus terdengar dari kompor.

"Eva!" Bude Mara terlihat sedikit kaget melihatku, tetapi senyumnya segera mengulas lebar. "Ah, sini, Sayang. Sini. Mau bantuin Bude masak?"

Aku mengangguk dan mendekat dengan sedikit canggung.

"Hari ini menu sarapan kita tumis kacang panjang dan tauge sama rica-rica daging sapi," celoteh Bude Mara. "Rica-nya sudah Bude masak, tinggal nunggu dagingnya empuk."

Lagi-lagi aku mengangguk lalu mengambil tempat di samping Bude Mara yang segera menggeser kacang panjang yang masih cukup banyak dan wadah plastik untuk tempatnya.

"Kamu suka masak, Va?" tanya Bude Mara.

"Se-sesekali aja, Bude," jawabku gugup.

"Yah ... kamu pasti nggak punya waktu sih, ya? Berangkat pagi, pulang malam. Mana hidup sendirian. Kalau Bude jadi kamu, Bude juga pilih beli aja di warteg. Praktis."

"Dulu ... dulu waktu belum kerja, Eva sering masak," kataku ragu-ragu.

"Yang benar?"

"Malahan Eva sempat jualan siomay frozen. Resep dari nenek."

Sebenarnya aku merasa bersalah. Bude Mara selalu membawakan makananku ke kamar, dan mengajakku ngobrol tentang apa saja. Namun, baru kali ini aku benar-benar mendengarkan kata-katanya. Baru kali ini kami benar-benar berbincang, bukan yang satu berceloteh sedang yang satu menutup diri di bawah selimut. Baru kusadari bahwa Bude Mara adalah sosok yang hangat. Sama seperti Benny. Sikapnya membuatku merasa nyaman dan diterima.

"Oh, ya? Wah, bagus itu. Terus sekarang masih dilanjut jualannya?"

Aku menggeleng. "Sejak mulai kerja sudah berhenti. Pada dasarnya jualan itu untuk bertahan hidup di tengah pandemi. Saya kena PHK karena perusahaan bangkrut."

Bude Mara manggut-manggut. "Pandemi memang bikin manusia terpaksa kreatif, ya." Bude berdiri untuk mengecek panci berisi rica daging sapi. "Sayang, kalau kacangnya sudah, bisa tolong kupaskan bawang merah?"

Aku mengangguk, lalu mengambil bawang merah di lemari atas putih di dekat kulkas sesuai instruksi Bude Mara.

"Bude selalu masak sendiri?" tanyaku.

Yang Kuingat Darimu dan Hari-Hari LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang