Ayam Geprek Bu Rum

23.7K 4.8K 1K
                                    

[Yogyakarta 2012]

"Min, kamu repot nggak habis ini?" tanyaku pada Mindie setelah Pak Suroso, dosen mata kuliah Academic Writing keluar kelas.

"Aku ada kumpulan sama anak-anak PALA e, Va. Kenapa tho?"

"Oh, ya udah kalau gitu." Aku mengangguk. "Tadinya mau tak ajakin ambil motor di Amplaz."

"Woalaah." Sahabatku yang mengenakan hijab hijau toska itu memasang ekspresi bersalah. "Maaf ya, Va, soalnya kumpul rutin ada Mas Derry. Nggak enak aku mau bolos."

"Eh iya, nggak apa-apa, Min. Santai, santai." Aku buru-buru menenangkannya. "Gampanglah nanti aku ajakin anak teater."

"Kenapa nggak minta anterin cowok kamu aja sih, Va?"

Aku mengerutkan dahi. "Cowok yang mana, Min?"

Mindie mengedipkan mata. "Lha itu? Kamu ngapain ke Amplaz malam-malam sampai nggak bisa ambil motor gitu? Yang-yangan* pasti, kan?" (Pacaran pasti, kan?)

"Ih, enggak yaaa. Itu anak Marcopolo. Dia dapat tiket nonton gratisan. Ya sayang kan kalau nggak kusambar?"

Gara-gara semalam kami pulang dari Alun-Alun Selatan sekitar pukul setengah satu, kuputuskan membiarkan motorku di Amplaz dulu saja dan langsung pulang ke rumah. Kasihan juga kan Benny kalau harus mengantar ke sana. Lagi pula, aku nggak yakin masih bisa masuk ke Amplaz di jam-jam dini hari begitu.

Alhasil, hari ini aku jadi nggak bisa ke mana-mana. Tadi saja aku minta tolong Mindie untuk mampir ke rumah karena aku pengin bareng ke kampus. Kebetulan rumah kami nggak terlalu jauh. Jadi, Mindie ya oke-oke aja karena nggak terlalu merepotkan.

"Ya udah, tho? Minta anterin dia aja," saran Mindie.

Aku garuk-garuk kepala. "Iya deh, gampang lah. Naik TransJog kan juga bisa."

Masalahnya, aku nggak punya muka lagi untuk ketemu Benny. Semalam karena terbawa suasana--ya nggak mungkin juga karena pengaruh tempura dan wedhang ronde yang bikin mabuk, kan?--aku menceritakan masalah di rumahku kepada Benny. Tentang Papa dan Mama yang semakin sering berantem, terutama sejak Papa mendapat tawaran mengajar di sebuah kampus di Jakarta. Juga tentang aku yang nggak nggak suka pulang ke rumah saat situasi lagi panas, dan memilih untuk kelayapan ke seantero Jogja.

Bisa-bisanya aku menceritakan itu semua pada Benny? Yang notabenenya orang asing dan bahkan belum kukenal lama. Apa iya, kita memang lebih mudah bercerita tentang hal-hal rahasia pada orang asing? Masalahnya, aku dan Benny nggak seasing itu. Kami akan sering bertemu di Marcopolo, kan?

"Va, aku duluan, ya," Mindie pamit untuk ke basecamp PALA. Aku melambai padanya.

Sekarang tinggal aku dan beberapa anak lain di kelas. Oke, what's next?

Minta tolong anak-anak teater? Aku nggak yakin bisa menemukan salah satu dari mereka di jam-jam segini. Basecamp teater baru akan ramai setelah duhur atau malah menjalang sepertiga siang. Kalau jam segini, kurasa aku hanya akan menemukan Gandari, kucing calico penunggu basecamp Teater Kalasenja.

Sepertinya naik TransJog adalah pilihan yang paling mungkin untuk kuambil. Toh aku tinggal jalan kaki ke halte TransJog.

Saat ide brilian itu muncul di kepalaku, ponselku berbunyi. Ada notifikasi BBM masuk. Mataku melotot sedikit melihat nama Benny di sana.

Benny:
Ev, lagi di kampus?
Udah ambil motor?
Kalau blm, ayo aku anter ke Amplaz

Mataku semakin melebar. Duh, kenapa juga dia memberiku tawaran yang nggak disangka-sangka begini?

Yang Kuingat Darimu dan Hari-Hari LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang