Hari Minggu pagi aku bangun kesiangan, gara-gara semalam pulang dari rumah Papa terlalu malam. Belun lagi, ada truk terguling di tol yang berakibat macet panjang. Nyaris 40 menit kami stuck di jalan, nggak gerak sama sekali.
Yang membuatku merasa bersalah, Bude Mara masih terjaga ketika aku tiba di rumah sekitar pukul setengah dua belas. Padahal biasanya Bude sudah masuk kamar sekitar pukul sepuluh. Namun, alih-alih marah, Bude malah terlihat lega saat aku muncul.
Karena rasa bersalah itu, aku berniat bangun pagi-pagi sekali untuk membersihkan rumah dan membantu Bude menyiapkan bahan makanan untuk diolah. Sayangnya, rencana tinggal rencana. Tangan laknatku mungkin mematikan alarm ponsel saat dia menyala tanpa kusadari. Alhasil, aku bangun kesingan saat aroma masakan sudah sampai di kamarku.
Aku segera cuci muka dan sikat gigi, lalu bergegas keluar kamar menuju dapur. Jika aku nggak sempat bantu memasak, mungkin aku bisa bantu cuci piring atau membuat the, atau apa pun yang bisa kulakukan. Namun, sesampainya di dapur, aku justru terkejut dengan keberadaan Ruri yang tengah membantu Bude menyiapkan piring dari rak.
"Lho, Ruri?"
"Hai, Va!" Ruri tersenyum lebar. "Gue menepati janji, kan?"
Kapan itu Ruri memang berjanji akan main ke rumah Bude Mara untuk menemaniku.
Ruri berpaling kepada Bude. "Aria nggak bilang-bilang kalau Eva di sini, Bude. Tahu gitu, kan, aku sering-sering mampir."
Bude tersenyum. "Bude saja nggak cukup ya, Rur? Sejak Aria tinggal sendiri kamu jarang mampir ke sini. Petra juga. Jadi sepi rumah ini. Bude senang sekarang ada Eva."
"Waduh Bude, maaf ... bukan begitu." Ruri memasang ekspresi bersalah, sembari memeluk Bude Mara dari samping. "Okelah, habis ini Ruri janji bakal sering-sering main ke sini. Kangen juga sama masakan Bude yang sekelas restoran bintang empat nih."
"Kok bintang empat? Nggak lima sekalian?"
"Soalnya kalau bintang lima, tuh, biasanya makanannya cuma seuprit, Bude. Plating-nya aja yang heboh."
Bude Mara dan Ruri tertawa. Keduanya terlihat dekat dan akrab. Yah ... nggak heran, sih. Ruri, kan, sahabat Benny. Wajar kalau Ruri sering main ke sini sebelumnya, dan wajar juga jika sikap Bude Mara sehangat itu. Aku jadi merasa sedikit konyol karena kemarin-kemarin aku merasa Bude memperlakukanku dengan istimewa. Mungkin Bude memang tipe orangtua ramah yang akrab dengan teman-teman putranya.
"Eh, ayo kita sarapan bareng!"
Tersadar dari lamunan, aku segera membantu apa yang masih bisa dibantu: membawa aneka sayur dan lauk pauk ke meja makan.
"Tadinya tuh gue mau ngajakin lo joging, Va. Di sekitar kompleks sini rame kalau hari Minggu. Apalagi di taman blok G, ada kang bubur legendaris yang mesti lo cobain," celoteh Ruri.
"Oh, yang Kang Asep?" tanyaku. "Udah sempet nyobain kok."
"Oh, udah? Gimana? Mantap, kan?"
Aku nyengir. "Sepadanlah sama effort ngantrenya."
"Dulu gue, Aria, sama Petra sering sarapan di Kang Asep," cerita Ruri. "Bude, hari ini Aria ke sini nggak?"
"Nggak bilang apa-apa sama Bude. Sama Eva gimana? Aria bilang mau ke sini nggak, Va?"
Aku menggeleng. Lebih tepatnya, aku belum mengecek ponselku lagi.
Sarapan hari itu lebih meriah dibanding biasanya, di mana hanya ada aku dan Bude, serta Benny sesekali. Apalagi pembawaan Ruri yang memang asyik, ceria, dan ceplas-ceplos. Setelah makan, Ruri mengusulkan supaya kami jalan-jalan ke mal. Nonton atau sekadar cuci mata. Bude mendukung usulan Ruri, karena itu bisa menjadi latihan untukku kembali ke keramaian. Meski demikian, Bude tetap mengembalikan keputusan kepadaku. Bude melarangku pergi jika aku merasa nggak nyaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang Kuingat Darimu dan Hari-Hari Lalu
ChickLitPandemi benar-benar mengubah hidup Eva. Berawal dari kantornya yang gulung tikar dan berujung PHK besar-besaran, Eva kini seorang pengangguran dengan beban seorang Ibu yang nggak mau tahu situasi dan kesulitan ekonominya. Setahun lebih Eva menganggu...