Dulu ketika ke mana-mana naik motor sendiri, banyak orang yang kukatai tolol karena dia berkendara dengan buruk dan membahayakan orang lain. Aku juga beberapa kali mengatai orang aneh atau freak, terutama saat scrolling media sosial dan menemukan komentar yang yang nggak masuk akal. Namun, aku nyaris nggak pernah mengatai orang lain pengecut. Menurutku, pengecut adalah kata yang tingkat menyakitkannya another level. Kata pengecut ibarat menyenggol hal paling sensitif, sesuatu yang nggak mampu dihadapi, dan itu bukan sesuatu yang bisa jadi olok-olok.
Beberapa minggu terakhir, aku sering mengatai diriku sendiri pengecut. Rasanya menyesakkan memang, tetapi kata itu terus-terusan bergaung di kepalaku, terkadang muncul juga di bibirku seperti rapalan mantra. Hingga saat ini, aku nggak tahu cara menghentikannya.
"Kalau mau nyusul, kita di Anne's Kitchen, ya. Dekat Sency." Suara Danu bergulir di telingaku melalui earbuds. Dia meneleponku dan mengabarkan bahwa anak-anak kantor makan di luar bareng-bareng—yang sebenarnya sudah kuketahui karena mereka ribut berdebat soal tempat makan di grup WA kantor sepagian.
Aku menggeleng, lalu sadar bahwa Danu nggak bakal melihat gelenganku. "Nggak usahlah, Mas. Gue udah makan juga di sini."
"Oke, tapi nanti lo ke kantor, kan? Product meeting jam dua."
"Yes. Bentar lagi gue ke kantor kok. Pokoknya habis lunch aman."
"Baiklah. Baik-baik lo di sana, Va, jangan bengong di tempat umum!"
Aku tertawa kecil dengan peringatan Danu, lalu perbincangan kami di telepon pun selesai.
Inilah bukti nyata bahwa sifat pengecut itu ada di dalam diriku. Hari Sabtu kemarin, setelah selesai membantu Bude Mara menyiapkan sajian spesial untuk keponakannya, aku buru-buru izin pergi ke rumah teman. Kuakui dengan jujur bahwa aku belum siap bertemu Benny, dan Bude Mara juga nggak melarangku pergi.
Hari ini Benny seharusnya sudah mulai masuk kantor lagi setelah pulang dari Singapura. Bukannya menemuinya untuk bertanya langsung soal tawaran kerja itu, aku malah izin work from anywhere setengah hari karena aku terlalu takut bertemu dengannya. See? Aku seperti pengecut ketakutan. Seperti tikus yang dikejar-kejar kucing, padahal aku tahu kalau kucing itu hanya khayalanku.
Konsentrasiku mengerjakan slide presentasi untuk meeting nanti teralihkan dengan suara tangisan anak kecil. Aku mendongak. Di salah satu meja di kafe tempatku bekerja saat ini, seorang anak kecil berusia sekitar enam atau tujuh tahun sedang menangis sesenggukan. Di hadapannya, ada seorang perempuan yang mungkin nggak jauh lebih tua daripada aku, berusaha menenangkannya. Menilik seragam TK yang dikenakannya, kurasa si anak kecil baru saja pulang sekolah. Bukannya aku bermaksud menguping, tetapi suara si anak yang kencang membuatku bisa mendengar permasalahannya dengan jelas. Dia mengadukan teman-temannya di sekolah yang meledeknya nggak punya ayah.
Sial! Kenapa manusia zaman sekarang jahat-jahat sekali, sih? Kenapa anak TK sudah bisa berpikir untuk mengejek hal-hal semacam itu? Apa salah anak kecil itu? Apa ketiadaan orangtua itu keinginannya?
Perempuan yang kuasumsikan sebagai ibu anak itu terus berusaha membujuk dan menghibur. Namun, tangis dan luka si anak kecil terlihat terlalu pedih untuk dihibur. Hingga di satu waktu, sang ibu meraih anak itu dalam pelukannya. Memeluk saja, tanpa berkata-kata. Perlahan-lahan tangis si anak mulai melirih hingga akhirnya reda sama sekali, hanya tersisa sedu sedan yang nggak seberapa.
Betapa pelukan seorang ibu bisa dengan mudah menenangkan anaknya.
Pemandangan itu begitu menyedot perhatianku, hingga tanpa sadar aku menatap keduanya dengan begitu intens. Perempuan itu memergoki pandanganku, tetapi dia hanya tersenyum dan menggumamkan kata maaf tanpa suara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang Kuingat Darimu dan Hari-Hari Lalu
ChickLitPandemi benar-benar mengubah hidup Eva. Berawal dari kantornya yang gulung tikar dan berujung PHK besar-besaran, Eva kini seorang pengangguran dengan beban seorang Ibu yang nggak mau tahu situasi dan kesulitan ekonominya. Setahun lebih Eva menganggu...