Aku nggak mungkin salah lihat. Pria yang ngobrol dengan Mama di teras tadi jelas-jelas Teddy. Mustahil aku salah mengenali bajingan yang wajahnya masih sering menghantui mimpi burukku. Yang mengingatnya, masih membuat jantungku berdebar kencang hingga aku merasa mual.
Pertanyaannya, kenapa? Bagaimana bisa? Kenapa bajingan itu ada di sana? Apa aku salah dengar kemarin ketika Mama bilang sudah putus kontak dengan pria itu? Kenapa Mama berbohong padaku? Kenapa Mama tetap berhubungan dengan bajingan yang sudah memperlakukanku seperti itu? Apa Mama menyepelekan kejadian yang kualami? Kalau iya, apa tujuan Mama mengajakku tinggal di sana dan berbohong soal relasinya sama si bajingan itu? Apa ada tujuan buruk? Apa mungkin ... Bagaimana Mama bisa melakukan itu kepadaku?
Tunggu.
Jangan terburu-buru, Ev. Bisa jadi kejadiannya nggak sesederhana itu. Bisa jadi Mama memang sudah mengakhiri hubungan mereka dan berusaha menjauh, tapi Teddy nggak melepaskan Mama. Bisa jadi, Teddy akhirnya berhasil melacak keberadaan Mama hingga ke Utan Kayu. Bisa jadi ini bukan soal Mama berbohong, melainkan soal Mama yang kesulitan melepaskan diri dari si bajingan itu.
Yah ... apa pun itu, kesimpulannya cuma satu. Mustahil aku tinggal dengan Mama. Seharusnya aku sudah mempertimbangkan ini sejak awal. Meskipun Mama sudah mengakhiri hubungan mereka, bukan mustahil Teddy kembali mencari Mama, seperti hari ini. Aku harus mencari alternatif lain. Aku harus menghindari rumah itu. Bisa jadi Mama sedang butuh bantuan untuk lepas dari bajingan itu, tapi ini bukan tanggung jawabku. Itu bukan urusanku. Mungkin aku terdengar durhaka, tapi ini bukan saatnya aku menolong mamaku, saat aku harus menolong diriku sendiri.
"Non, ini beneran balik ke sini lagi?"
Pertanyaan driver ojol menyadarkanku dari lamunan. Saat terburu-buru menyuruh bapaknya mengebut tadi, aku hanya bilang "balik aja, Pak.". Dan di sinilah, kami baru saja memasuki gerbang komplek rumah Bude Mara. Motor bapak ojol berjalan lambat melewati taman komplek yang cukup ramai.
"Saya turun sini saja, Pak," kataku.
Sontak driver menghentikan motornya. Aku melompat turun dari boncengan.
"Beneran, Non?" tanya pria paruh baya itu ketika aku mencopot helm. "Non teh nggak apa-apa? Sejak di Utan Kayu tadi Bapak lihat kok agak bingung."
Aku tersenyum. Nggak urung, perhatian bapak driver membuatku lumayan terharu. "Nggak apa-apa kok, Pak. Saya baik-baik saja. Ini ongkos yang tanpa aplikasi, ya. Makasih banyak, Pak."
Sepeninggal driver ojol, aku berjalan gontai dan duduk di bangku kayu pertama yang kutemukan. Sejak tadi aku merasa pijakan kakiku kurang mantap dan sedikit lemas. Keringat dingin sudah berkurang, tapi perasaan ngeri dan sensasi tarikan ketat di belakang leherku masih terasa.
Kuhela napas panjang, dan kupejamkan mata selama beberapa detik. Setelahnya kurogoh ponsel dari dalam tas ransel dan tanganku bergerak sendiri membuka aplikasi WA dan langsung menuju chatroom dengan Benny. Aku sudah setengah jalan menuliskan apa yang kualami barusan saat tersadar. Haruskah aku bercerita ke Benny soal ini? Haruskah aku menambah-nambahi beban pikirannya, padahal aku sudah menyakiti hatinya? Emangnya aku ... se-enggak punya hati itu?
Tangan luruh ke pangkuan. Punggungku pun semakin merosot dari sandaran. Mataku kembali terpejam, seolah dengan begitu aku bisa melihat persoalan dengan lebih jernih.
Yaah ... untung aku belum memberi tahu Mama soal rencana pindahku. Setidaknya aku nggak perlu menjelaskan batalnya rencana itu. Meski dengan begitu, aku harus menemukan tempat tinggal baru. Apakah aku ... Papa? Aku teringat tawaran Papa berbulan-bulan lalu untuk tinggal di Kebun Jeruk. Haruskah aku menerima tawaran Papa dan Tante Aira untuk tinggal bersama mereka dulu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang Kuingat Darimu dan Hari-Hari Lalu
ChickLitPandemi benar-benar mengubah hidup Eva. Berawal dari kantornya yang gulung tikar dan berujung PHK besar-besaran, Eva kini seorang pengangguran dengan beban seorang Ibu yang nggak mau tahu situasi dan kesulitan ekonominya. Setahun lebih Eva menganggu...