Melampaui Batas

23.5K 3.5K 274
                                    

Dulu waktu kecil, ada sebuah rumah tua di lingkungan tempat tinggalku. Kata orang, rumah itu sudah kosong sejak tiga puluh tahun yang lalu. Konon katanya juga, pemilik rumah itu kemungkinan besar menjadi salah satu korban tragedi 65, karena saat-saat itulah kali terakhir orang-orang desa melihat keluarga tersebut. Karena sudah kosong puluhan tahun, rumah itu nggak terawat. Pagar besinya sudah berkarat dan sobek di banyak sisi. Beberapa bagian dindingnya juga sudah retak parah. Ilalang tinggi menghiasi halaman rumah yang cukup luas itu. Hanya kucing liar dan mungkin aneka hewan melata yang berani dan mau masuk ke sana.

Perasaanku terhadap rumah itu sangat ambigu. Rumah itu sebenarnya sangat cantik. Kesan lawas dan antiknya memancar kuat, dan aku bisa membayangkan betapa nyamannya ditinggali jika rumah itu dirawat dengan baik. Setiap kali lewat di depan rumah itu, aku nggak bisa menahan diri buat menoleh dan memandangi setiap detail fasadnya. Aku takut, tapi juga penasaran. Beberapa kali aku berniat untuk masik dan melihat-lihat suasana di dalam. Namun, setiap kali melewati pagar, rasa ngeri dan takutku memuncak. Akhirnya, aku selalu terbirit-birit pulang.

Perasaan itu, sama seperti yang kurasakan saat ini. Aku sudah berhasil keluar sekitar 100 meter dari gerbang rumah Bude Mara. Namun, kegugupanku muncul. Asam lambungku terasa naik, menyusuri tulang belakang, dan sampai ke kerongkongan. Tanganku basah, dan aku sedikit mual. Alhasil, baru saja keluar dari komplek dan melihat halte TransJakarta, ketakutanku memuncak, dan aku terbirit-birit pulang.

Lik Nah yang tengah menyapu halaman menatapku keheranan.

"Kok balik lagi, Teh?"

Aku hanya meringis sembari menggeleng, lalu bergegas masuk ke rumah dan mengunci diri dalam kamar. Kutarik napas panjang-panjang, kupejamkan mata untuk menenangkan diri. Ternyata aku memang belum siap.

Nggak apa-apa, Ev, nggak apa-apa, bujukku ke diri sendiri. Meski sebenarnya aku lumayan kesal, mengingat ini sudah percobaan yang kesekian. 

Beberapa hari ini, aku bangun lebih pagi dan selalu membuat rencana untuk ke kantor sendiri naik kendaraan umum. Pilihanku jatuh ke TransJakarta. Pertama, ada halte di dekat gerbang perumahan dan ada halte juga di dekat kantor, sehingga aku nggak perlu gonta-ganti armada. Kedua, aku memilih TransJakarta karena biasanya penuh dan ramai oleh penumpang. Aku belum siap naik angkot--aku nggak yakin akan berani naik angkot lagi. Dan aku juga ngeri membayangkan nail ojek atau taksi online, di mana aku hanya berduaan dengan orang asing.  Memang banyak kemungkinan yang terjadi di semua transportasi, tetapi dengan pertimbangan-pertimbangan tadi, pilihanku jatuh ke TransJakarta.

Yah ... apa pentingnya itu semua? Toh, pada akhirnya aku tetap saja gagal. Aku masih saja pengecut payah yang terbirit-birit ketakutan setiap kali mencoba bepergian sendiri.

Bude Mara bilang, aku bisa pelan-pelan. Nggak harus memaksakan diri, toh aku nggak sedang memburu apa pun. Namun, Bude Mara jelas salah. Aku sedang terburu-buru, dan aku segera mengalahkan pengecut dalam diriku ini. Bagaimanapun caranya, aku harus membuang ketakutan itu dan menjadi diriku yang dulu.

Kuhela napas panjang sekali lagi. Lalu kubasuh wajahku dengan air, yang membuatku harus mengulang tahapan makeup tipis yang kupakai tadi. Setelah memastikan penampilanku normal, aku keluar kamar, bertepatan dengan suara mesin mobil yang berhenti di depan rumah, disusul suara salam yang ringan dan hangat.

Benny tahu bahwa aku mencoba "uji nyali" setiap pagi. Namun, seperti kata-katanya kemarin, dia tetap mampir tanpa bertanya sebelumnya apakah aku berhasil atau gagal.

Kata Benny, "Ya kalau kamu udah berangkat, berarti semuanya lancar. Aku tinggal nyusul ke kantor dengan hati senang."

Hari ini pun sama.

"Howdy?" sapa Benny saat melihatku. "Gimana?"

Aku menggeleng. "Gagal."

Benny tersenyum, tangannya terulur mengusap kepalaku ringan. "Nggak apa-apa, besok coba lagi."

Yang Kuingat Darimu dan Hari-Hari LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang